Sudahkah masyarakat Indonesia, khususnya elite pemimpin atau pejabat-pejabat, mau belajar dari sejarah? Membaca sejarah dengan benar akan membuka mata hati dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat. Rakyat ditempatkan sebagai yang pertama menjalankan amanah kepemimpinan atau kekuasaan. Setiap langkah hidup untuk memenuhi kemaslahatan publik.

Dalam Islam, banyak objek bacaan sejarah yang bisa dijadikan sumber literasi. Salah satunya tentang sejarah Nabi Ibrahim yang memberi nilai-nilai edukatif etik untuk pelajaran elite sekarang. Sayang, banyak elite kekuasaan belum mau mempelajarinya dengan benar agar tidak sampai krisis komitmen kemanusiaan.

Masyarakat tentulah bisa menikmati kesejahteraan, hidup berkecukupan, terjamin masa depan kerjanya. Rakyat tidak sampai dihadapkan dengan ragam penyakit sosial ekonomi, andai saja elite pemimpin menjalankan nilai-nilai yang diajarkan Ibrahim. Para pemimpin bukan hanya disuruh jadi penghafal realitas sosiologis, tetapi dituntut menjadi pelaku yang mampu mengukir berbagai bentuk kesuksesan masyarakat.

Elitis sekarang yang mau membaca sejarah dengan benar, seharusnya bisa mendidik diri menjadi pelaku sosial-keagamaan yang lebih berguna di masyarakat. Peran-peran yang dimainkan, mampu menghadirkan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Idul Adha menunjukkan kesejatian momentum pengorbanan sosok manusia.

Sayangnya peristiwa ini masih sekadar dibacakan dalam salat Id atau dipahami melalui buku-buku, tapi belum diambil hikmahnya sebagai sumber moral spiritualitas keteladanan. Hidup Ibrahim difokuskan atau diabdikan untuk kepentingan Tuhan dan publik. Perbuaatn kesehariannya di tengah masyarakat bukan demi diakui secara sosial, tetapi didasari kerelaan berkorban demi kebaikan masyarakat.

Misalnya, dia rela menyerahkan ribuan hewan ternak untuk dikorbankan demi mengentas kemiskinan, berbagi kepada orang miskin, dan merajut persaudaraan kemanusiaan. Dia tidak hanya simpatik terhadap ketidakberdayaan masyarakat, tetapi langsung terjun dengan medistribusikan kekayaannya.

Sementara itu, dalam berelasi dengan Tuhan, dia benar-benar sebagai pencinta sejati. Anak tunggalnya rela "dikorbankan" untuk memenuhi panggilan ilahi. Anak semata wayang "dipersembahkan" demi memenuhi cinta pada Allah (QS, As-Shafat: 103). Cinta demikian agung terbukti mampu melahirkan sejarah keteladanan pengorbanan anak manusia. Dia tidak mementingkan diri.

Mencontoh

Ketika terjadi krisis di tengah masyarakat, sikap dan perilaki elite pemimpin mestinya mencontoh Ibrahim yang rela berkorban. Pengorbanan sejati tidak pernah mengalkulasi keuntungan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan dimensi-dimensi lain, kecuali demi memberi dan mendistribusi hak milik kepada masyarakat.

Di saat masyarakat menghadapi banyak kesulitan, komunitas elite pemimpin seharusnya mengikuti jejak pengorbanannya kepada sesama manusia yang benar-benar didasarkan atas cinta kasih.

Masyarakat sebagai tempat pengabdian totalnya dalam mewujudkan komitmen kemanusiaannya. Dari ketidakberdayaan masyarakat hingga ke ranah pencerahan sosial hanya mungkin terjadi lewat sosok pemimpin atau elite yang berjiwa humanistik. Mereka mau berkorban dan selalu berupaya mereformasi dan mentransformasi nilai dalam diri dan kepemimpinan.

Tidak akan ada hasil yang menggembirakan bisa ditunai seorang pemimpin, tanpa dihului pengabdian maksimal kepada rakyat, khususnya rakyat kecil. Masyarakat akar rumput akan tetap menderita andai pemimpin tidak bersungguh-sungguh dalam mengentaskan mereka. Itu berarti, hidup seorang pemimpin dituntut menunjukkan kinerja maksimal dalam mengentaskan ketidakberdayaan rakyat kecil.

Gerakan kerja, kompetensi, tugas, dan amal pemimpin harus diajuhkan dari KKN. Mereka harus sampai pada kerelaan menyerahkan harta milik untuk memberdayakan rakyat kecil.

Sebaliknya, rakyat kecil di negeri harus semakin diberdayakan. Jangan sampai para pemimpin mengalami krisis pengorbanan. Kinerja yang didasarkan pada regulasi dan rasionalitas manajemen kekuaasaan memang boleh jadi tidak akan mampu memberikan hasil memadai ketika kondisi masyarakat sedang dihadapkan pada berbagai problem hidup.

Maka perlu komitmen pengorbanan dari para pemimpin untuk mengentaskan kemiskinan agar masyarakat lebih sejahtera. Mereka harus rela berkorban mencontoh tindakan Ibrahim. "Seutama-utamanya amal saleh, ialah memasukkan rasa bahagia di hati orang yang beriman, melepaskan rasa lapar, membebaskan kesulitan, atau membayarkan utang," jelas Nabi Muhammad SAW.

Esensinya, dia mengajak manusia, terutama para pemimpin negara untuk berlomba dan bersaing dalam menabur amal kebajikan dan pengorbanan. Kebijakan-kebijakan yang dilahirkan didasarkan pada upaya terus memperbaiki kehidupan manusia. Rakyat harus menjadi subjek kerja para pemimpin.

Abdul Wahid, Pengajar Program Pascasarjana Universitas Islam Malang

Baca Juga: