Dokter mata Hattori Tadashi meninggalkan pekerjaan bergaji tinggi di Jepang dua dekade lalu untuk memberikan perawatan mata bagi orang-orang miskin di Vietnam. Sejak itu, ia dan timnya telah memulihkan penglihatan lebih dari 20.000 orang secara gratis.

Kini, ia menjadi satu dari empat penerima penghargaan Ramon Magsaysay tahun ini berkat upaya kemanusiaannya. Penghargaan itu kerap disebut sebagai "Hadiah Nobel Asia".

Hattori Tadashi merupakan salah satu dokter bedah mata terkemuka Jepang. Dalam sebuah konferensi dua dekade lalu, terjadi pertemuan yang mengubah hidupnya. Ia berkenalan dengan seorang dokter Vietnam yang mengundangnya untuk membawa keahlian Hattori ke Vietnam pada 2002.

Hattori menerima undangan tersebut dengan merencanakan kunjungannya akan berlangsung sekitar tiga bulan. Namun, begitu ia mulai menerima pasien di Vietnam, ia kaget melihat begitu lazimnya kebutaan akibat katarak. Setelah kembali ke Jepang, ia tidak bisa berhenti memikirkan mengenai orang-orang yang menjadi buta hanya karena mereka tidak mampu membayar operasi.

Hattori memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan mulai bolak-balik antara Jepang dan Vietnam hampir tiap bulan. Selama dua dekade, ia telah merawat pasien secara gratis di Vietnam, dengan menggunakan tabungannya sendiri untuk membeli dan mendonasikan peralatan medis. Ia juga bekerja sebagai dokter bedah lepas di Jepang untuk mengumpulkan dana bagi misinya itu.

Hattori mengatakan sumber semangatnya adalah senyum para pasiennya. "Saat saya melihat pasien tersenyum setelah operasi ketika mereka melihat cahaya lagi, saya merasa diliputi kebahagiaan," ungkap Hattori. "Itu bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan uang," imbuh dia.

Saat ini Vietnam memang telah mengalami perkembangan ekonomi yang pesat. Namun, Hattori mengatakan masih banyak orang telah tertinggal. Oleh karena itu, ia memfokuskan ke area pedesaan yang biaya transportasi untuk pergi ke rumah sakit kota besar bisa terlalu memberatkan bagi banyak orang serta membayar biaya operasi adalah hal yang mustahil.

Jadi, ia memimpin misi medis ke daerah-daerah terpencil untuk merawat pasien yang miskin. Meskipun mengalami banyak masalah, mulai dari keterlambatan kereta yang lama hingga birokrasi pemerintah, ia tidak pernah menyerah karena ia yakin anugerah penglihatan membantu mengentaskan orang dari kemiskinan.

"Kalau seorang ayah atau ibu bisa mendapatkan kembali penglihatannya, mereka bisa kembali pergi bekerja dan tidak lagi menjadi beban keluarganya," kata Hattori. "Kalau kakek dan nenek bisa melihat lagi, mereka bisa merawat cucu-cucunya dan orang tua bisa pergi bekerja. Mendapatkan kemampuan untuk melihat lagi bukan hanya membantu pasien, tetapi juga seluruh keluarganya. Saya tidak bisa memunggungi orang-orang yang hampir kehilangan penglihatannya hanya karena mereka kekurangan uang untuk membayar pengobatan. Titik awal saya sebagai dokter adalah membantu orang," papar dokter mata yang kini berusia 58 tahun itu.

Bekerja dengan Hati

Hattori lahir di Osaka pada 1964. Ia memutuskan untuk menjadi dokter pada usia 15 tahun saat masih duduk di bangku SMA setelah mendengar tenaga kesehatan di rumah sakit berbicara tanpa rasa hormat mengenai ayahnya yang menderita kanker saat dirawat di rumah sakit. Hal itu memberinya inspirasi untuk merawat orang dengan hormat.

Sebelum ayahnya meninggal, ia meninggalkan pesan kepada Hattori, yaitu "Hiduplah untuk orang lain".

Hattori berulang kali gagal ujian masuk sekolah kedokteran. Setelah empat tahun mencoba, ia akhirnya berhasil masuk ke Universitas Kedokteran Prefektur Kyoto.Hattori lulus pada 1993 dan ia kemudian bekerja di sebuah rumah sakit di Jepang.

Pengalaman berulang kali gagal ujian masuk sekolah kedokteran membuatnya mendapatkan motto yaitu "Jangan pernah menyerah". Hattori mengatakan pola pikir ini sangatlah penting bagi dokter.

"Kalau saya menyerah saat melaksanakan operasi, bukan saya yang akan merasakan sakit atau menjadi buta, melainkan pasien saya. Setiap kali saya mengalami kesulitan saat operasi, saya perlu mengatasi masalah itu dan memastikan pasien saya mendapatkan kembali penglihatannya. Menyerah itu mudah, tetapi kita harus terus maju," kata Hattori.

Hattori berupaya keras membagi pengetahuannya dengan para dokter Vietnam karena ia yakin makin banyak pelatihan artinya makin banyak orang buta yang bisa melihat kembali. Namun, ia mengatakan teknik saja tidak cukup karena pekerjaan itu juga memerlukan hati.

"Kita perlu menganggap pasien seperti orang tua atau anak kita sendiri," tutur dia. "Saya meminta para dokter Vietnam untuk melakukan operasi dengan pola pikir seperti itu dan pesan itu tampaknya sangat diterima," imbuh dia. NHK/I-1

Baca Juga: