Permintaan dunia saat ini bukan brown atau blue hidrogan yang berpotensi meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan berbahaya bagi lingkungan.

JAKARTA - Indonesia bisa menjadi penguasa hidrogen hijau atau green hydrogen global.

Namun, kuncinya harus meningkatkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) secara besar-besaran bukan dengan mengolah sumber energi fosil menjadi hidrogen atau ammonia.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyatakan Indonesia mempunyai sumber energi fosil yang bisa diolah jadi hidrogen dan ammonia.

Namun, dia memperingatkan kebutuhan dunia saat ini bukan brown atau blue hidrogan yang berpotensi meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK) dan berbahaya bagi lingkungan.

"Yang dibutuhkan adalah green hidrogen, yang diproduksi dari pemecahan molekul air dengan listrik yang berasal dari energi terbarukan," tegasnya kepada Koran Jakarta, Kamis (20/6).

Untuk itu, papar dia, kalau mau jadi "raja" green hydrogen, harus ada peningkatan energi terbarukan secara besar- besaran sehingga nanti harga listrik dari energi terbarukan cukup kompetitif.

Hal itu untuk menghasilkan hidrogen dengan biaya produksi di bawah 4 dollar AS per kilogram (kg), sehingga bisa kompetitif dengan brown atau blue hidrogen.

Selain itu, kebutuhan hidrogen dan ammonia di dalam negeri juga tinggi, khususnya sebagai substitusi gas alam untuk pupuk dan proses industri lainnya.

"Jadi perlu ada pemetaan dan estimasi kebutuhan hidrogen dan ammonia untuk industri dalam negeri dan perlu dipetakan lokasi untuk produksinya, yang sedapat mungkin dekat dengan sumber permintaan.

Ini karena biaya transportasi hidrogen mahal dan kompleks," jelasnya.

Seperti diketahui, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi menyebutkan Indonesia berpotensi sebagai pemimpin produsen hidrogen dan amonia di tingkat regional.

Dalam upaya mencapai net zero emission, Indonesia memiliki keunggulan kompetitif dalam produksi hidrogen bersih yang dapat mendatangkan manfaat ekonomi yang signifikan.

"Hidrogen akan memainkan peran penting dalam sistem energi global seiring dengan upaya berbagai negara untuk mendekarbonisasi dan membangun ekosistem hidrogen," ujar Deputi Menteri Koordinator bidang Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves, Jodi Mahardi, pada Indonesia International Hydrogen Summit 2024 di Jakarta, Rabu (19/6).

Menurut Jodi, sumber daya gas alam yang melimpah, kapasitas penyimpanan CO2, dan potensi energi terbarukan menempatkan Indonesia sebagai pemimpin regional dalam produksi hidrogen.

Jodi menambahkan, Indonesia secara geografis dekat dengan negara-negara yang memiliki permintaan tinggi akan hidrogen bersih, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura, yang bersama-sama mewakili pasar hidrogen sekitar empat juta ton per tahun.

Indonesia memiliki cadangan gas terbesar kedua di Asia Pasifik dan potensi penyimpanan CO2 terbesar ketiga di kawasan tersebut untuk hidrogen biru.

Sementara itu, untuk hidrogen hijau, Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar kedua di dunia dan potensi kapasitas tenaga surya lebih dari 200 GW.

Netralitas Karbon

Seiring dengan upaya negara- negara untuk mencapai target net zero emission, permintaan hidrogen global diperkirakan akan meningkat lebih dari empat kali lipat antara 2020 dan 2050.

Pada 2023, terdapat 1.418 proyek hidrogen bersih yang diumumkan secara global, dengan nilai investasi mencapai 570 miliar dollar AS di seluruh rantai nilai hidrogen.

Amonia, yang merupakan bahan utama dalam produksi pupuk, dapat diproduksi menggunakan hidrogen hijau dan biru sehingga menjadi lebih bersih.

Manfaat potensial dari amonia bersih bagi Indonesia antara lain sebagai bahan utama dalam produksi pupuk, industri besar di Indonesia dengan nilai pasar 4,5 miliar dollar AS.

Baca Juga: