Secara teknis dan ekonomis, keputusan menghentikan aktivitas pembakaran batu bara dan suplai listrik dari PLTU dapat dilakukan dengan mudah.

JAKARTA - Pemerintah diminta menghentikan semua rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan menggantinya dengan pembangkit energi terbarukan (EBT) mulai 2025. Strategi sebagai upaya memacu peningkatan EBT dalam bauran energi nasional.

"Dalam waktu 10 tahun mendatang kita harus meningkatkan akselerasi dan penetrasi energi terbarukan. Setelah 2025, tidak boleh lagi membangun PLTU baru," kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa dalam diskusi daring yang dipantau di Jakarta, Rabu (21/4).

Fabby beralasan melalui Kebijakan Energi Nasional yang sejalan dengan komitmen yang dibuat pemerintah dalam perjanjian internasional Paris Agreement, Indonesia telah menetapkan serangkaian target untuk mengurangi dampak perubahan iklim salah satunya melalui porsi energi terbarukan mencapai 23 persen pada 2025.

"PLTU berusia tua di atas 20 tahun harus mulai dilakukan phase out hingga tahun 2050 seiring dengan peningkatan energi terbarukan," kata Fabby.

Secara teknis dan ekonomis, lanjut dia, keputusan menghentikan aktivitas pembakaran batu bara dan suplai listrik dari PLTU dapat dilakukan dengan mudah, tetapi yang menghambat adalah kepentingan politik karena selama ini batu bara menjadi sumber pendapatan negara.

Apabila konsumsi EBT meningkat seiring dengan peningkatan kualitas dan kesejahteraan masyarakat, maka sektor energi akan menjadi kontributor pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia. "Komitmen menurunkan emisi butuh keputusan politik untuk meninggalkan energi fosil dengan beralih memanfaatkan energi terbarukan," kata Fabby.

Saat ini, porsi pemanfaatan energi terbarukan dalam bauran energi nasional baru mencapai 11,2 persen dan sisanya 88,8 persen masih didominasi energi fosil.

Merujuk data Kementerian ESDM, kapasitas pembangkit energi terbarukan di Indonesia berjumlah 10.467 megawatt (MW) yang terdiri atas 3,6 MW tenaga hybrid, 154,3 MW tenaga angin, 153,8 MW tenaga surya, 1.903,5 MW tenaga bio, 2.130,7 MW tenaga panas bumi, dan 6.121 MW tenaga air.

Pemerintah menargetkan kapasitas terpasang listrik ramah lingkungan tahun 2025 dapat mencapai 24.000 MW. Selanjutnya, jumlah itu bertambah menjadi 38.000 MW pada 2035.

Pertumbuhan Lamban

Seperti diketahui, lambannya pertumbuhan EBT dalam bauran energi nasional tak terlepas dari belum dimasukannya externality cost atau biaya kerusakan lingkungan ke energi fosil, termasuk batu bara.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha menegaskan, dampak dari belum dimasukannya externality cost tersebut menjadi kendala dalam penentuan harga keekonomian EBT. "Akibat dari belum dimasukannya externality cost tersebut EBT masih jauh tertinggal kendatipun diakuinya bahwa PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) saat ini jauh lebih kompetitif," ujarnya dalam forum kehumasan DEN beberapa waktu lalu.

Satya yang juga bekas Anggota Komisi VII DPR RI itu mengusulkan carbon pricing untuk dibahas regulasinya yang nantinya akan membuat harga EBT lebih kompetitif. Menurut dia, dengan carbon pricing, energi fosil bisa berbenah menekan emisi karbonnya melalui upgrading batubara, menjadi Batubara ke Gas juga DME (Dimethyl Eter) atau bisa juga batu bara cair, juga dengan zero flaring pada operasi migas (minyak dan gas bumi).

Terkait pemanfaatan PLTS, Anggota DEN lainnya, Herman Darnel Ibrahim mendorong pengembangan PLTS atap (rooftop) untuk mendukung capaian bauran energi nasional, khususnya di Pulau Jawa.

Baca Juga: