Pemerintah harus serius mengurangi impor pangan dan mendorong kebijakan untuk swasembada pangan jika ingin terhindari dari risiko krisis pangan.
JAKARTA - Ketegangan geopolitik berkepanjangan membawa banyak negara ke dalam tubir krisis pangan. Selain kolaborasi, cara lain mencegah krisis pangan dengan mengurangi kebergantungan impor pangan. Saat ini, sejumlah pangan pokok kita bersumber dari impor.
Direktur Program Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan krisis pangan memang mungkin terjadi karena supply shock atau gangguan suplai, yakni kondisi keterbatasan suplai. Hal itu terjadi karena sejumlah faktor global, meliputi efek pandemi Covid belum usai, kondisi konflik geopolitik Ukraina dan Russia, serta perubahan iklim.
Dari dalam negeri, faktor pemicunya meliputi kebergantungan impor pangan, kebijakan yang tidak serius mengatasi problem sektor pertanian seperti masalah pupuk, kurangnya bimbingan teknis, kurang teknologi pertanian, skill petani kurang, harga jual pada saat panen rendah, dan lain sebagainya.
"Kita bisa terhindar dari krisis pangan apabila pemerintah serius untuk mengurangi impor pangan dan mendorong kebijakan untuk swasembada pangan," tegasnya pada Koran Jakarta, Senin (12/6).
Faktor penting lainnya, terang Esther, mendorong kolaborasi antara pemerintah, petani, swasta, dan perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat untuk bersama sama mendorong swasembada pangan.
Seperti diketahui, dalam laporan World Food Programme 2023, Global Report on Food Crises mencatat sebanyak 258 juta orang di 58 negara atau wilayah hidup dalam krisis pangan arau rawan pangan level akut. Jumlah itu meningkat 123 juta dibandingkan pada 2019. Kemudian, Analis Fitch Solutions Charles Hart memperkirakan shortfall antara produksi dan permintaan beras pada 2023 akan meningkat, sementara 3,5 miliar penduduk atau 90 persen penduduk dunia yang mengandalkan beras sebagai makanan utama, seperti Indonesia.
Diperkirakan, defisit pada pasokan beras mencapai 8,7 juta ton pada 2022/2023. Jumlah tersebut terbesar pada 20023/2004 di mana defisit mencapai 18,6 juta ton. Di sisi lain, Indonesia sebagai salah satu konsumen terbesar beras di dunia jelas terkena imbas.
Kenaikan harga beras akan melambungkan inflasi mengingat bobot beras dalam perhitungan inflasi terbilang besar yakni 3,33 persen. Sementara, harga beras sudah merangkak naik sejak September 2022 dan belum juga menurun.
Disikapi Cepat
Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan peringatan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) terkait ancaman krisis pangan global harus disikapi cepat oleh semua pihak dengan mengedepankan kolaborasi.
"Ketegangan politik di berbagai negara dan ancaman perubahan iklim memerlukan peran aktif semua pihak untuk meningkatkan produksi sektor pertanian," kata Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, di Padang, akhir pekan lalu.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan sayangnya Indonesia masih masuk dalam jerat pangan global dan belum mampu menguatkan dirinya dari sisi produksi dan rantai pasok dalam negeri, tak heran saat gandum, kedelai, jagung, beras dipasar global harganya naik disini terjadi gejolak yang berujung pada instabilitas ekonomi, dan meningkatkan risiko kerawanan pangan.
Kata kolaborasi terangnya, tidak hanya diperlukan dalam konteks negera-negara, misalnya mempercepat perdamaian atau menguatkan pasokan pangan antar negara, namun bagi Indonesia menjadi penting kolaborasi di antara para pemangku kepentingan di dalam negeri. "Pemerintah, petani, akademisi, dan pihak lainnya perlu bahu membahu berkolaborasi memperkuat produksi, distribusi sebagai penguat ketahanan dan kedaulatan pangan nasional," tegasnya.