Musim libur pada akhir tahun ini merupakan kesempatan untuk kita bisa healing dengan mengunjungi tempat-tempat unik. Jika Anda berencana untuk berlibur di Jawa Timur, tak ada salahnya jika mampir ke kampung-kampung unik yang ada di Malang dan Surabaya ini.

Malang, kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya, didirikan pada masa pemerintahan Belanda pada 1 April 1914, dengan E K Broeveldt sebagai wali kota pertama.

Kota berhawa sejuk yang terletak pada ketinggian antara 440-667 meter di atas permukaan air laut ini, dikelilingi oleh Gunung Arjuno di sebelah utara; Gunung Semeru dan Gunung Bromo di sebelah timur; Gunung Kawi dan Gunung Panderman di sebelah barat.

Malang dikenal sebagai kota pariwisata karena alamnya yang menawan yang dikelilingi oleh pegunungan. Jika dilihat dari sisi budaya, Malang termasuk ke dalam Kawasan Kebudayaan Arek dan menyimpan berbagai macam peninggalan bersejarah.

Kampung Heritage Kayutangan

Di Malang terdapat peninggalan masa Kerajaan Kanjuruhan hingga Belanda. Peninggalan Belanda pada umumnya berupa bangunan-bangunan kuno seperti Gereja Kayutangan yang berarsitektur gotik. Malang pun telah lama dikenal sebagai wilayah yang penuh dengan kisah bersejarah. Salah satunya terlihat jelas pada Kampung Kayutangan.

Pemukiman penduduk asli Malang yang berada di kawasan pusat kota ini, sekarang telah dibuka menjadi tujuan wisata dengan nama Kampung Heritage Kayutangan.

Kampung tematik ini merupakan kawasan berisi bangunan-bangunan lama dari zaman Belanda, yang sudah tertata rapi. Bagi mereka penyuka dan pegiat sejarah, berkunjung ke kawasan dengan ciri khas deretan rumah berarsitektur kolonial dan bangunan yang masih asli dan terjaga tentu amat menyenangkan.

Pengunjung juga bisa berburu lokasi foto dengan konsep klasik di kawasan yang kini menjadi tujuan andalan wisata Malang heritage ini. Selain berfoto pada sejumlah spot Instagramable, wisatawan bisa menikmati suasana segar dari gemericik kali (sungai kecil) yang membelah Kampung Kayutangan ini.

Tentu masih banyak berbagai aktivitas lain yang menarik. Sebut saja berwisata kuliner, membeli barang antik, mempelajari sejarah, atau mengikuti acara yang diselenggarakan di kampung tersebut. Selama itu, pengunjung akan menikmati keramahan warga kampung yang selalu bersikap hangat kepada setiap wisatawan. Warga bahkan dengan terbuka mempersilahkan rumah mereka untuk sekedar berfoto.

Beberapa fasilitas yang tersedia seperti masjid dan toilet, juga dapat digunakan pengunjung. Dan bila waktu makan tiba, tersedia sejumlah tempat yang bisa dikunjungi seperti Kafe Yowis, Warung Kopi Hamur Mbah Ndut, Warung STMJ, dan Depot Es Taloen yang telah ada sejak 1950, berlokasi tepat di samping pintu masuk Jalan AR Hakim.

Terdapat tiga akses masuk Kampung Heritage Kayutangan. Pertama dari koridor Talun di Jalan Arif Rahman Hakim serta dua akses lainnya dari Jalan Basuki Rahmat. Pengunjung hanya diwajibkan membeli tiket masuk senilai 5 ribu rupiah per orang untuk bisa berkunjung ke kampung ini.

Sejarah

Dari berbagai catatan, Kampung Kayutangan bermula dari Kampung Talun dan Hutan Patang yang berdiri sejak abad XII masehi atau masa Hindu-Buddha.

Talun memiliki arti tepian hutan. Dengan kata lain, kebun baru yang berada di pinggir hutan. Kampung Talun bahkan sudah ditetapkan sebagai desa perdikan (bebas pajak) sejak 1198. Hal ini diperkuat dalam data yang tertulis dalam prasasti Ukir Nagara.

Sedangkan dalam kitab Pararaton, hutan yang dikenal dengan sebutan 'patangantangan' di kawasan tersebut pernah menjadi tempat persembunyian Ken Arok, pendiri dari Wangsa Rajasa dan Kerajaan Singhasari. Sejumlah prajurit diperintahkan Tunggul Ametung, akuwu wilayah Tumapel, untuk mencari Ken Arok yang kala itu menjadi buron, sebelum pada akhirnya ia berhasil mengakhiri hidup Tunggul Ametung dengan keris buatan Mpu Gandring.

Revitalisasi Kayutangan sendiri baru terjadi pada masa awal 1880-an. Sebelumnya, Belanda sudah membuka perkampungan khusus orang Eropa di sebelah selatan Sungai Brantas dan membangun benteng di sekitar Celaket yang kini didirikan RSUD Saiful Anwar. Mereka mendirikan rumah-rumah di kawasan Celaket, Kayutangan, Klojen Kidul dan Temenggungan, yang berada dalam pengawasan Pangeran Honggo Koesoemo sekaligus menjadi tempat penyebaran agama Islam atas perintah Bupati Malang pertama, RAA Notodiningrat.

Makam Pangeran Honggo atau dikenal dengan sebutan Mbah Honggo berada dalam Kampung Kayutangan, tepatnya di Jalan Jenderal Basuki Rahmat Gang 4. Penduduk percaya bahwa tokoh satu ini adalah guru spiritual dari keluarga Bupati Malang pertama.

Pada komplek makam Mbah Honggo, terdapat juga makam milik Pangeran Soero Adimerto atau Ki Ageng Peroet. Keduanya adalah tokoh yang memiliki keturunan langsung dari Kerajaan Majapahit.

Bermula saat pemerintahan Adipati Unus dari Kerajaan Demak menyerang Majapahit pada 1518, memaksa keluarga kerajaan mundur dan pindah ke pulau Bali.

Beberapa keturunan Prabu Brawijaya selanjutnya, Kandjeng Pangeran Soero Adiningrat masih menjabat sebagai Adipati Ponorogo, mempunyai putra Kandjeng Soero Adimerto yang hidup pada masa perjuangan Pangeran Diponegoro.

Setelah peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal De Kock di Magelang pada 1830, semua senopati (panglima perang) berpencar ke seluruh Jawa Timur dengan menggunakan nama-nama samaran yang bertujuan menghilangkan jejak terhadap Belanda.

Pangeran Soero Adimerto berganti nama Kyai Ageng Peroet, Pangeran Honggo Koesoemo menjadi Mbah Onggo, Ulama Besar Kandjeng Kyai Zakaria II menjadi Mbah Djoego.

Sedangkan keturunan selanjutnya, Raden Mas Singowiryo memiliki makam terpisah sekitar 50 meter. Makam ini populer dengan nama samaran oleh masyarakat yakni 'Kuburan Tandak'. Lokasi makam saat ini, dahulu adalah komplek besar para sesepuh keturunan Adipati Malang sekaligus komplek makam belakang masjid jami.SB/I-1

"Blusukan" di Wisata Kampung Ketandan Surabaya

Bagi Anda yang gemar blusukan di kampung, tak jauh dari Malang tepatnya di Kota Surabaya, terdapat sebuah kampung lama yang tetap dipertahankan di tengah kemunculan bangunan pencakar langit di tengah Kampung Ketandan.

Untuk dapat menemukan kampung bersejarah ini, pengunjung harus menelusuri Jalan Tunjungan sisi barat hingga menemukan Toko Lalwani. Tak jau dari situ terdapat sebuah gang dengan lebar tidak lebih dari tiga meter. Di situlah Kampung Ketandan berada.

Kampung Ketandan memiliki nuansa jaman dahulu yang kental. Memasuki Kampung Ketandan, kita bisa melihat rumah-rumah warga yang masih mempertahankan arsitektur khas era kolonial.

Berjalan lebih jauh lagi, kita akan menjumpai Masjid An-Nur, sebuah masjid bergaya arsitektur masa lampau dengan pilar-pilar besar yang menghimpit pintu masuknya, jendela besar yang dilengkapi teralis besi, serta tulisan 1914 tepat di atas pintu masuk menunjukkan tahun pembangunannya.

Dahulu, masjid ini hanya berupa musala (langgar) namun seiring dengan kebutuhan kapasitas jemaah, Masjid An-Nur mengalami beberapa kali renovasi. Meski demikian, beberapa bagian masih dipertahankan keasliannya.

Beranjak ke tengah kampung, terdapat sebuah makam yang menempati lahan 150 meter persegi. Areal makam yang cukup luas tersebut tampak asri dengan pohon beringin besar yang memayunginya.

Masyarakat sekitar menyebut makam itu dengan sebutan Makam Mbah Buyut Tondo, atau buyut atau nenek moyang masyarakat Kampung Ketandan. Bentuk makam amat sederhana dan berbagai cerita sesepuh kampung menunjukkan bahwa makam Mbah Buyut Tondo sudah ada jauh sebelum Kampung Ketandan menjadi seperti saat ini.

Kampung ini berada di daerah yang terkenal dengan sebutan Segi Empat Emas, yaitu di antara Jalan Tunjungan sebelah Timur, Jalan Embong Malang sebelah Selatan, Jalan Blauran sebelah Barat dan Jalan Praban sebelah Utara. Meski dihimpit oleh gedung-gedung pusat perbelanjaan modern, pemerintah Kota Surabaya berupaya menjaga kekayaan sejarah di Ketandan dengan mengembangkannya sebagai kawasan cagar budaya dan objek pariwisata.

Salah satu tonggak pentingnya ketika di tahun 2016 lalu, diresmikan Balai Budaya Cak Markeso. Balai budaya yang berbentuk rumah joglo ini dibangun dari hasil kerja sama United Cities Local Government Asia Pacific (UCLG ASPAC), UN Habitat, dan pemerintah Kota Surabaya. Penamaan Markeso dilakukan sebagai penghormatan kepada seniman besar Kota Pahlawan.

Kini, balai budaya yang terletak di tengah-tengah Kampung Ketandan ini digunakan sebagai ruang publik yang berfungsi sebagai "penyambung rasa" bagi warga Ketandan dalam berinteraksi dan berdiskusi tentang segala hal yang menyangkut lingkungannya.

Selain itu, warga juga menjadikan Balai Budaya Cak Markeso sebagai tempat untuk menggelar beragam pertunjukan seni. SB/I-1

Baca Juga: