Bentuk utang makin variatif. Ada yang berwujud barang, fasilitas, uang, kredit, hingga jasa "beli kini bayar nanti" atau pay later. Aksesnya mudah dan menggiurkan.
Muhammad Naufal Waliyuddin, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Akhir tahun lalu, masyarakat dikejutkan dengan kabar tentang 311 mahasiswa yang terjerat pinjaman online (pinjol).
Sejak pandemi COVID-19, banyak kelompok masyarakat Indonesia - termasuk anak muda - terjebak utang karena beragam faktor. Beberapa di antaranya karena pemutusan hubungan kerja (PHK), kenaikan harga bahan pokok, krisis global, dan kebutuhan aktivitas daring yang makin masif karena kerja dan pembelajaran jarak jauh.
Pada mulanya, utang hanyalah bentuk relasi sosial sederhana yang berkaitan dengan jasa, balas budi, barter dan aktivitas sosial-ekonomi kemanusiaan sehari-hari. Sebagaimana ulasan antropolog ekonomi David Graeber, dengan bergulirnya sejarah dan semakin kompleksnya kehidupan masyarakat, utang pun berkembang melampaui urusan ekonomi, finansial, negara dan pasar belaka.
Seiring berkembangnya sistem keuangan, jenis-jenis utang pun menjadi semakin variatif. Ada yang berwujud barang, fasilitas, uang (dengan sistem bunga ataupun tidak), kredit, hingga yang terbaru adalah jasa "beli kini bayar nanti" (buy now pay later atau BNPL) dengan akses yang mudah dan menggiurkan bagi konsumen muda.
Melalui tulisan ini, saya ingin menelusuri bagaimana tren baru perutangan ini menjerat mereka - termasuk bagaimana utang menjadi candu, melanggengkan kesenjangan, dan menimbulkan dampak psikologis.
Perilaku keuangan anak muda: rentan terjebak jasa "paylater"
Menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Gen Z (saat ini di rentang usia 19-25 tahun) dan milenial (26-35 tahun) menjadi kelompok usia yang paling banyak berutang pada tahun 2021 dengan nilai pinjaman online saja mencapai Rp 14,74 triliun.
Di antara anak muda, pemakaian jasa paylater, khususnya, kini makin meningkat. Survei perilaku keuangan generasi milenial dan Z oleh Katadata Insight Center (KIC) pada 2021 menemukan sebesar 13,8% generasi milenial dan Gen Z menggunakan jasa paylater. Angka ini lebih besar ketimbang penggunaan kartu kredit yang hanya 7,6%.
Sebagai gambaran, survei tersebut juga menunjukkan 33,1% dari total 5.204 responden mengaku kondisi keuangannya memburuk selama pandemi. Lebih dari 60% menyebut bahwa situasi ini akibat PHK dan pemasukan usaha yang menurun. Selain itu, sebesar 53,5% responden memiliki pengeluaran bulanan yang lebih besar ketimbang pendapatan mereka.
Hal ini kemungkinan menjadi gambaran mengapa banyak anak muda kemudian mengandalkan utang, khususnya jasa paylater yang mudah diakses secara digital, sebagai cara menyambung hidup.
Sayangnya, tidak jarang jasa paylater memakan korban. Banyak orang, misalnya, menjadi tidak mampu mengajukan kredit rumah karena tunggakan paylater yang menggunung.
Menurut data dari Institute for Development of Economic Studies (Indef), tidak sedikit dari mereka bahkan macet melunasi pinjaman itu. Peneliti Nailul Huda dari Indef mengatakan kalau ini banyak terjadi pada pengguna berusia 19 tahun ke bawah yang belum berpenghasilan. Angka rata-rata kredit macetnya pun tidaklah kecil: 2,8 juta per orang.
Mengapa paylater itu candu
Temuan di atas juga mengisyaratkan kalau generasi muda jauh lebih sering menggunakan dompet digital ketimbang menarik uang dari mesin anjungan tunai mandiri (ATM).
Sebesar 67,8% responden dalam survei KIC, misalnya, mengaku sebagai pengguna dompet digital - OVO, GoPay, ShopeePay, hingga Dana - yang juga menjadi pintu masuk penggunaan jasa paylater.
Inilah mengapa, pada awalnya dulu (rentang 2017-2019), sebagian besar aplikasi niaga daring (e-commerce) sering kali mensyaratkan aktivasi dompet pembayaran mereka lebih dulu. Secara tidak langsung, hal ini dapat mendorong mereka mengakses fitur paylater.
Kemudahan akses ini, serta promosi yang menggiurkan dan dirancang untuk memanipulasi otak (neuromarketing), merangsang keinginan konsumen untuk berbelanja. Banyak anak muda keranjingan paylater, bahkan untuk membeli sesuatu yang tidak benar-benar mereka butuhkan.
Kesalahan bukan hanya pada kaum muda
Banyaknya anak muda yang menggunakan jasa keuangan digital, menurut sebuah riset di Yogyakarta, adalah karena minimnya literasi finansial, pemasukan yang sedikit, kurangnya kendali, hingga dorongan gaya hidup glamor.
Hal ini juga turut diperkuat dengan narasi berbau konsumerisme seperti promo kilat (flash sale) dan frasa "awas ketinggalan!" yang dilanggengkan oleh penyedia jasa. Mereka menyebarkan pandangan ini lewat iklan yang menggiurkan namun jauh dari kenyataan (hyperreality) - juga melalui melalui promosi, skema hadiah, dan lain-lain.
Namun, riset tahun 2023 dari University of Newcastle tentang isu serupa di kalangan anak muda Australia, menawarkan persepsi yang berbeda.
Tim riset tersebut menemukan bahwa perilaku berutang bukan semata-mata kesalahan kaum muda dan bukanlah kasus individual saja. Melampaui itu, utang turut melibatkan kuasa ekonomi politik industri besar, kapitalisme, dan pengabaian pemerintah terhadap isu keamanan anak muda.
Argumen tersebut didasari oleh fakta bahwa mayoritas pengguna jasa paylater ternyata didominasi oleh kelompok dengan kondisi ekonomi lemah. Mereka yang posisi dan kuasanya sudah rentan secara ekonomi, jadi semakin tertekan akibat tuntutan finansial.
Kemudahan akses utang dan ketiadaan pembatasan atau regulasi pemerintah pun menjadikan masalah ini semakin parah. Ini menjadi persoalan yang berkelindan dengan ketidakmerataan ekonomi, ketimpangan sosial, hingga jomplangnya kualitas hidup.
Penelitian tersebut juga mengutip riset terdahulu yang memaparkan bagaimana kapitalisme membuat utang semakin mudah, membatasi campur tangan pemerintah, dan mengurangi akses publik untuk memperoleh kesejahteraan:
"..the processes of capitalism which made consumer finance more accessible whilst government spending in housing, health, education and welfare is reduced."
"..proses-proses kapitalisme yang membuat pembiayaan konsumen semakin mudah, sementara pengeluaran pemerintah untuk perumahan, kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan dikurangi."
Seiring perkembangan, utang memang mesti dipahami juga sebagai isu politik dan moral - yang sering kali memperlebar kesenjangan dan ketidakadilan di masyarakat, terutama di negara berkembang.
Isu ini juga berkaitan dengan fenomena "precarity" yang semakin gencar dalam dunia anak muda. Ini merujuk pada aspek kerentanan, kesulitan, hingga mencakup lingkungan dan karakter kerja yang makin tidak mendukung kestabilan finansial. Ini, pada gilirannya, akan melahirkan kelas prekariat (precarious-proletariat) yang bekerja dalam kondisi yang penuh ketidakpastian.
Dampak psikologis utang
Selain bergumul dengan persoalan kerentanan tadi, persoalan anak muda dan utang pun menyebabkan dampak psikologis.
Riset dari Australia tersebut juga mendata beberapa gejala kejiwaan yang dialami mereka yang terjerat utang. Beberapa di antaranya adalah gangguan kecemasan (anxiety), rasa malu, rasa tidak berdaya (helplessness), isolasi diri, stres, sakit perut yang ditimbulkan oleh kondisi mental (psikosomatis), masalah tidur, konflik dengan keluarga, hingga ide bunuh diri.
Ironisnya, dalam pandangan para peneliti, individu yang berutang seringkali menuai "moralisasi" (penilaian moral) dari masyarakat sebagai individu yang "bersalah" karena lalai dalam mengelola keuangannya. Padahal, itu tidak sepenuhnya benar - ada jaringan sebab akibat yang lebih rumit dari itu.
Masih di riset yang sama, stigmatisasi tersebut dianggap ikut berkontribusi membuat mereka yang terlilit utang menjadi menarik diri secara sosial - ini semakin mengancam kesehatan psikologis mereka. Studi kasus terkait utang dan dampak psikologis pada anak muda (18-28 tahun) di Amerika juga mengamini hal tersebut.
Dampak negatif yang signifikan ini membuat isu utang anak muda menjadi topik yang perlu diteliti lebih jauh lagi.
Muhammad Naufal Waliyuddin, Researcher of Youth and Religious Studies. Doctoral candidate in Islamic studies, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.