KPU sebagai lembaga yang dijamin kemandiriannya dalam UUD 1945 tidak boleh tersandera dalam melaksanakan kewenangannya membuat PKPU dan pedoman teknis. Sebab, KPU bertanggung jawab dalam penyelengaraan pemilihan.

JAKARTA- Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan kewajiban Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan hasil konsultasi dengan DPR dalam membuat Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). MK memutuskan bahwa hasil rapat konsultasi antara KPU dengan DPR tidak mengikat secara hukum.


"Menyatakan, Pasal 9 huruf a UU No 10 Tahun 2016.sepanjang frasa 'yang keputusannya bersifat mengikat', bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat."

kata Wakil Ketua MK, Anwar Usman, dalam persidangan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakpus, Senin (10/7).


KPU sebelumnya mengajukan uji materi pada Oktober 2016. Uji materi dilakukan terhadap Pasal 9 huruf a UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang bunyinya,

"Tugas dan wewenang KPU dalam penyelenggaraan Pemilihan meliputi: a) menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan Pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat".


KPU menilai ketentuan pasal tersebut telah mengganggu prinsip kemandiriannya sebagai pelaksana pemilu yang semestinya independen tanpa harus ada tekanan pihak mana pun.


MK menilai bahwa kewajiban konsultasi tidak menyalahi undang-undang, tetapi frasa "yang keputusannya bersifat mengikat" menyandera KPU. KPU sebagai lembaga yang dijamin kemandiriannya dalam UUD 1945 tidak boleh tersandera dalam melaksanakan kewenangannya membuat PKPU dan pedoman teknis.

Sebab, KPU bertanggung jawab dalam penyelengaraan pemilihan.


"Kemandirian KPU harus tercermin dalam rumusan norma UU yang diturunkan dari semangat UUD 1945, terutama dalam hal kedudukannya maupun dalam hal pelaksanaan kewenangannya.

Oleh karena itu, KPU memiliki kewenangan untuk secara mandiri atau independen merumuskan peraturan dalam melaksanakan fungsinya yang berpusat pada tujuan mencapai terselenggaranya pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah yang demokratis," ujar Anwar.


Namun demikian, rapat konsultasi KPU dengan DPR tetap bisa dilaksanakan sebagai kordinasi antarlembaga. Adapun mekanisme keberatan terhadap langkah KPU dalam menjalankan tugasnya, bisa dilakukan dengan judicial review ke Mahkamah Agung (MA).


"Mekanisme kontrol dimaksud adalah pengujian secara formil dan/ atau materil terhadap keberadaan suatu peraturan,

pasal atau ayat dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang hierarkinya lebih rendah dari UU apabila dinilai bertentangan dengan undang-undang dapat dimohonkan pengujian ke Mahkamah Agung sesuai dengan Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945," cetus MK dalam suara bulat.


MK beralasan, pertama, bukan tidak mungkin bahwa dalam forum dengar pendapat dimaksud tidak tercapai keputusan yang bulat atau bahkan tidak ada kesimpulan sama sekali.

Hal itu dapat terjadi, misalnya, karena di satu pihak tidak terdapat kesepakatan di antara fraksi-fraksi yang ada di DPR atau antara DPR dan pemerintah atau antara DPR dan KPU atau antara KPU dan pemerintah.


Dalam keadaan demikian, frasa "yang keputusannya bersifat mengikat" telah menyandera KPU dalam melaksanakan kewenangannya untuk merumuskan peraturan KPU.


Menanggapi putusan MK itu, Wakil Ketua Komisi II DPR, Lukman Edy, mengatakan putusan MK hanya menghilangkan frasa "yang keputusannya bersifat mengikat" saat KPU rapat konsultasi dengan DPR.

Namun, dalam menyusun PKPU, KPU tetap wajib membahasnya bersama DPR di rapat dengar pendapat (RDP).mza/Ant/P-4

Baca Juga: