» Kesalahan jangan ditimpakan kepada warga yang sudah jadi korban, karena faktanya sumber kebakaran dari tangki BBM.
» Seolah-olah jika korban sudah dirawat di rumah sakit dan yang meninggal mendapat santunan, semua urusan sudah beres.
JAKARTA - Kebakaran yang kedua kalinya di Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) atau Depo Pertamina di Plumpang, Jakarta Utara, pada Jumat (3/3), mengindikasikan sistem keamanan Pertamina amat buruk, berada di bawah standar international yang mensyaratkan zero accidents bagi aset strategis dan berisiko tinggi.
Anehnya, dalam kebakaran dahsyat yang menyebabkan 19 orang meninggal dan 38 korban luka-luka masih dirawat di sembilan rumah sakit, dan 14 orang dilaporkan hilang itu, pemerintah baik itu Kementerian BUMN, Kementerian ESDM, dan Pertamina sendiri terkesan melempar kesalahan ke warga yang mendirikan bangunan di sekitar tangki penampungan BBM.
Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, yang diminta pendapatnya mengatakan pemerintah dan Pertamina perlu membuka informasi yang terang benderang terkait korban, terutama data yang simpang siur dengan adanya dugaan masih ada korban yang hilang.
"Aparat Kepolisian juga harus membuka kepada publik jumlah korban sebenarnya dan penyebab kebakaran di Depo Plumpang," kata Badiul.
Meskipun semua orang tahu kalau di sana adalah lahan Pertamina, tetapi tidak bisa juga warga disalahkan sepenuhnya. "Seandainya tidak ada warga di sekitar depo, terus siapa yang mau disalahkan. Bukankah Depo Plumpang pernah terbakar hebat juga pada 18 Januari 2009," kata Badiul.
Penelusuran Bareskrim Polri kala itu, penyebab kebakaran berasal dari gesekan antara slot ukur dan alat pengambil sampel BBM yang mengakibatkan percikan api menyambar tangki bensin nomor 24. Akibat kebakaran itu, satu orang petugas keamanan meninggal, dan kerugian yang dialami Pertamina sekitar 17 miliar rupiah.
Setelah berselang 13 tahun, kebakaran kembali terjadi, dan kali ini kata Badiul, kerugiannya pasti lebih besar. Selain warga yang jadi korban, tentu kerugian materialnya pun lebih besar.
"Kementerian BUMN, ESDM, dan Pertamina merupakan pihak yang paling bertanggung jawab dengan kasus ini. Kalau di Jepang, ini pejabatnya langsung mundur sebagai bentuk tanggung jawab moral atas jabatannya," kata Badiul.
"Jangan malah tambah dipolitisasi dengan mau merelokasi warga atau memindahkan depo, tidak semudah itu, tetap perlu kajian. Cara-cara yang tidak bertanggung jawab seperti ini yang membuat Indonesia susah maju," tambah Badiul.
Berdasarkan data dari Badan Pengendalian Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, jumlah rumah warga yang terbakar sebanyak 84 unit dengan jumlah pengungsi di tenda-tenda sebanyak 204 orang.
Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radi, mengatakan kebakaran yang kesekian kalinya di Depo Pertamina itu menuntut perusahaan untuk memperbaiki sistem keamanan yang diterapkan agar kejadian tidak terulang.
Fahmi mengkritisi proses pengambilan keputusan yang menyatakan jatuhnya banyak korban jiwa karena kesalahan penduduk yang bermukim di daerah penyangga atau buffer zone yang diklaim milik Pertamina.
"Hampir tidak mengemuka pendapat yang mempertanyakan mengapa kebakaran dahsyat terjadi?" Padahal, kalau tidak terjadi kebakaran, tentu tidak akan banyak korban. Faktanya juga, kebakaran itu berawal dari Depo Pertamina Plumpang yang menyambar sejumlah rumah penduduk," tandas Fahmy.
Ia juga berharap kasus tersebut tidak ditarik ke urusan politik. Semua pihak terkait harus bertanggung jawab terhadap jatuhnya korban.
"Jangan menyalahkan orang lain. Ingat, di depan kita ada belasan nyawa melayang. Mereka harus diurus dengan baik. Begitu juga korban-korban luka bakar yang masih di rumah sakit," katanya.
Tanggung Jawab
Sementara itu, Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Center, Hardjuno Wiwoho, menyayangkan percakapan publik yang berkembang mengenai kebakaran yang kembali terulang di Depo Pertamina Plumpang hanya fokus pada apakah depo harus pindah atau masyarakat sekitar harus pindah. Padahal, yang utama dari insiden kebakaran Plumpang adalah tentang nasib korban dan siapa yang bertanggung jawab.
"Ingat, kebakaran pertamina itu sudah pernah terjadi. Tapi siapa penanggungjawabnya? Kok kebakaran di fasilitas ultra penting seperti itu tidak pernah jelas siapa yang bertanggung jawab? Apakah dirut pertamina? Atau sampai Menteri BUMN-nya? Mengingat insiden kebakaran di fasilitas Pertamina itu sudah pernah terjadi," papar Hardjuno.
Di negara-negara maju, setiap peristiwa kecelakaan fatal selalu menuntut pertanggungjawaban pimpinan tertinggi. Namun sayang, di Indonesia, yang justru terjadi adalah tak pernah jelas siapa yang bertanggung jawab. Seolah-olah jika korban sudah dirawat di rumah sakit dan yang meninggal mendapat santunan, semua urusan sudah beres.