JAKARTA - Pemerintah dan DPR diminta untuk lebih transparan dan membuka fakta sesungguhnya tentang fenomena gali lubang tutup lubang pada pengelolaan utang negara.

Apalagi, tahun ini pemerintah menargetkan penarikan utang baru melalui penerbitan surat berharga negara (SBN) sebesar 467 triliun rupiah seperti yang termuat dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP) 2017.


Selama ini, penambahan utang baru itu terus terjadi setiap tahun dan tidak ada upaya dari pemerintah untuk mengurangi, apalagi melakukan moratorium terhadap kewajiban utang lama dari penerbitan obligasi rekapitalisasi perbankan eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).


Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, mengatakan pengelolaan utang pemerintah penuh dengan tanda tanya, padahal jumlahnya sudah mencapai hampir 4.000 triliun rupiah.


"Setiap tahun tambah utang, ditutup-tutupi dengan rasio terhadap PDB (produk domestik bruto) yang sebenarnya angkanya tidak tetap dan bersifat perkiraan.

Anehnya lagi, masing-masing lembaga, seperti Kemenkeu, BPS, dan lembaga asing bisa berbeda-beda. Sementara utang bersifat pasti dan harus dibayar di kemudian hari," kata dia saat dihubungi, Selasa (11/7).


Menurut Salamuddin, pemerintah mengatakan defisit APBN 2017 naik menjadi 2,92 persen dari sebelumnya 2,67 persen terhadap PDB. Namun, defisit ini seolah-olah tidak berkorelasi dengan konsekuensi yang harus ditanggung di kemudian hari, padahal pemerintah jelas-jelas menambalnya dengan utang baru.


"Berlindung di balik perkiraan dibanding perkiraan, tapi menutupi kepastian konsekuensi yang harus ditanggung di kemudian hari. Ini sama sekali tidak terbuka dan hanya memindahkan beban kepada generasi selanjutnya.

Seharusnya pemerintah dan DPR sepakat melakukan moratorium utang, khususnya utang pengemplang BLBI yang telah dikonversi menjadi obligasi rekap," kata dia.


Cetak Uang


Salamuddin menambahkan jika utang baru habis untuk membayar utang lama atau gali lubang tutup lubang maka belanja negara mau tak mau mesti juga diada-adakan.

"Lalu, belanja negara dari mana? Jangan-jangan cetak uang baru untuk sekadar menanggulangi defisit sesaat. Tapi, kalau ini terjadi bisa seperti Orde Lama, hiperinflasi dan terjadi sanering. Ini yang harus dihindari," papar dia.


Sementara itu, Koordinator Investment Center for Budget Analysis, Jajang Nurjaman, menilai bahwa utang masih dianggap menjadi salah satu solusi defisit fiskal lantaran dengan utang, belanja negara tidak terganggu dan bunga utang yang jatuh tempo bisa dibayar.


Padahal, menurut dia, kondisi utang negara saat ini tidak bisa dianggap enteng karena menyebabkan anggaran 2017 mengalami defisit sampai 2,92 persen. Angka ini mendekati batas defisit anggaran sebesar tiga persen yang diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.


Sebelumnya, sejumlah kalangan menilai utang pemerintah Indonesia saat ini sudah termasuk sangat tinggi. Data pemerintahmengungkapkan posisi utang negara per Mei 2017 mencapai 3.672,33 triliun rupiah. Tahun ini, pemerintah berencana menambah porsi penerbitan SBN menjadi 467 triliun rupiah.


Sedangkan total beban utang jatuh tempo pada dua tahun mendatang sebesar 810 triliun rupiah. Rinciannya, sebesar 390 triliun rupiah pada 2018, dan senilai 420 triliun rupiah pada 2019. Jumlah beban utang jatuh tempo tersebut merupakan yang terbesar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.YK/ahm/AR-2

Baca Juga: