» Indeks harga pangan FAO, pekan lalu, menunjukkan harga beras internasional merangkak naik untuk bulan kelima berturut-turut.

» Kenaikan harga beras akan berdampak buruk bagi Asia sebagai konsumen terbesar.

JAKARTA - Harga bahan pangan dalam beberapa bulan terakhir terus melonjak. Para pengamat mengatakan beras yang menjadi makanan pokok di sebagian besar Asia bisa menyusul. Harga beberapa komoditas makanan, mulai dari gandum dan biji-bijian lainnya hingga daging dan minyak telah melonjak. Kenaikan itu didorong beberapa faktor, mulai biaya pupuk dan energi yang naik tahun lalu dan terakhir perang Russia-Ukraina.

Data terbaru yang dirilis indeks harga pangan organisasi pangan dunia FAO, pekan lalu, menunjukkan harga beras internasional merangkak naik untuk bulan kelima berturut-turut dan mencapai level tertinggi dalam 12 bulan terakhir. "Yang pasti, produksi beras masih melimpah. Tetapi, kenaikan harga gandum dan biaya pertanian yang umumnya lebih tinggi akan membuat harga beras layak untuk dipantau selanjutnya," kata para ahli.

"Kita perlu memantau harga beras ke depan, karena kenaikan harga gandum dapat menyebabkan beberapa substitusi terhadap beras meningkatkan permintaan dan menurunkan stok yang ada," kata Kepala Ekonom Bank Nomura, Sonal Varma.

Lebih lanjut, dia mengatakan langkah proteksionis sebenarnya memperburuk tekanan harga di tingkat global. Begitu pula dengan biaya pakan dan pupuk untuk pertanian sudah meningkat dan harga energi menambah biaya pengiriman. "Jadi, ada risiko karena kita melihat lebih banyak proteksionisme dari negara-negara," kata Varma.

Namun demikian, dia menyatakan bahwa risiko terhadap beras masih rendah karena persediaan beras global cukup dan panen di India diperkirakan akan baik pada musim panas ini.

Menurut laporan Reuters yang mengutip seorang pejabat pemerintah Thailand, pada akhir Mei, menyebutkan Thailand dan Vietnam sedang dalam pembicaraan mengenai kesepakatan untuk meningkatkan harga ekspor beras mereka. Empat eksportir mengatakan kepada Reuters bahwa pedagang beras telah membeli lebih banyak beras India dalam dua minggu terakhir.

"Saat ini, saya akan jauh lebih khawatir dengan India yang memberlakukan larangan ekspor beras dalam beberapa minggu mendatang karena mereka memikirkan setelah gandum dan gula," kata peneliti senior di Institut Penelitian Kebijakan Pangan Internasional, David Laborde, kepada CNBC.

Menurut Forum Ekonomi Dunia, India dan Tiongkok sebagai produsen beras teratas dunia, menyumbang lebih dari setengah dari total global. Vietnam terbesar kelima, sementara Thailand di tempat keenam.

India memberlakukan larangan ekspor gandum pada Mei, dengan pertimbangan keamanan pangan, kemudian memberlakukan pembatasan gula hanya beberapa hari setelah larangan gandum.

Laborde mengatakan bahwa kenaikan harga akan jauh lebih baik daripada larangan ekspor apa pun. "Kita harus benar-benar membedakan antara kenaikan harga yang mengompensasi biaya yang lebih tinggi dan akan menguntungkan petani (dan membantu mereka berproduksi), daripada larangan ekspor yang mendorong harga di pasar dunia, tetapi mendorong harga turun di pasar domestik," katanya.

Bagian Besar

Perwakilan regional untuk Asia Selatan di International Rice Research Institute, Nafees Meah, menambahkan bahwa biaya energi yang telah meningkat secara global merupakan bagian besar dari biaya produksi beras. "Namun, ada argumen mengatakan jika pasar menunjukkan kenaikan harga, mengapa petani tidak diuntungkan?" kata Nafees kepada CNBC "Squawk Box Asia."

Kenaikan harga beras akan berdampak buruk bagi banyak orang di Asia, yang merupakan konsumen bahan pokok terbesar. "Di kawasan Asia Tenggara Pasifik, negara-negara seperti Timor Leste, Laos, Kamboja, dan Indonesia, yang populasinya sangat besar, banyak di antaranya rawan pangan yang sangat terpengaruh jika harga terus berlanjut, untuk bangkit dan bertahan di level yang sangat tinggi ini," kata Nafees.

Direktur Pelaksana dan Kepala Strategi Investasi untuk RBC Wealth Management, Frederique Carrier, mengatakan indeks harga pangan PBB menunjukkan harga sekarang 75 persen di atas tingkat prapandemi. "Kekurangan tenaga kerja terkait pandemi dan invasi Russia ke Ukraina telah memperburuk situasi dengan membatasi pasokan makanan dan mendorong harga energi lebih jauh lagi," tulisnya dalam laporan bulan Juni.

Baca Juga: