Pangan dan energi merupakan penentu utama stabilitas perekonomian Indonesia.

Perlu digalakkan kampanye dan langkah sistematis diversifikasi pangan non-beras.

JAKARTA - Dinamika harga pangan dan energi di awal tahun ini berpotensi mengganjal laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Akan tetapi, kenaikan harga beras yang cukup tinggi di dalam negeri belakangan ini direspons pemerintah dengan impor sebagai exit strategy jangka pendek mengatasi lonjakan harga yang belum tentu efektif.

Di samping beras, polemik importasi komoditas pangan lain seperti gula dan garam juga mulai kembali mengemuka. Dari luar negeri, harga minyak mentah dunia terus meningak sejak Juli 2017.

Meskipun kenaikan harga minyak mentah dunia sangat mungkin menguntungkan bisnis minyak di sisi hulu, namun tentunya pemangku kepentingan ekonomi tidak lupa bahwa Indonesia adalah net importir bahan bakar minyak (BBM).

Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati, mengatakan tren kenaikan harga minyak global bakal mendorong inflasi dan menekan daya beli masyarakat. Saat ini, harga minyak dunia sudah hampir menyentuh angka 70 dollar AS per barel, sedangkan asumsi pada APBN 2018 hanya 48 dollar AS per barel.

Selanjutnya, penurunan daya beli akan berpengaruh sumber utama pertumbuhan ekonomi, terutama konsumsi rumah tangga dan investasi. "Saat daya beli menurun maka rumah tangga akan menahan konsumsi saat ini, sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan ke depan.

Penurunan daya beli juga berpengaruh terhadap aktivitas dunia usaha, tidak hanya yang berbasis konsumen atau ritel, tapi juga akan berimbas ke sektor produksi atau investasi," papar dia, di Jakarta, Kamis (25/1).

Enny menambahkan, kenaikan harga minyak pada akhirnya mengganggu sektor pembiayaan. Saat inflasi naik, maka akan diikuti kenaikan suku bunga simpanan (cost of fund) dan suku bunga pinjaman.

Hal itu akan menyebabkan pertumbuhan kredit melambat, investasi turun, dan menekan pertumbuhan ekonomi. Menurut Enny, dalam situasi seperti ini, pemerintah harus berani menentukan langkah sehingga masyarakat dan dunia usaha bisa merencanakan antisipasi kenaikan harga BBM.

Dia mengusulkan langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah melakukan simulasi dampak dan mengumumkan langkah mitigasi kenaikan harga minyak. Langkah selanjutnya adalah efisiensi pengelolaan BBM baik di sisi hulu maupun hilir, serta mengurangi proporsi energi fosil (PLTD) sebagai sumber pembangkit listrik.

Peneliti Indef, Berli Martawardhaya, menambahkan pangan dan energi merupakan penentu utama stabilitas perekonomian Indonesia. Namun, pemenuhan konsumsi BBM dan pangan dari impor terus meningkat.

Impor beras dilakukan demi stabilisasi harga, padahal sebentar lagi petani panen. "Dan jika harga pangan terus mengalami gejolak, maka upaya pemulihan daya beli masyarakat akan terhambat. Artinya, target pertumbuhan ekonomi 5,4 persen akan sulit dicapai," katanya.

Kedaulatan Pangan

Ekonom UGM, Fahmi Radhy, mengatakan Indonesia akan sulit mencapai kedaulatan pangan. Sebab, saat terjadi gejolak harga pemerintah selalu mengeluarkan jalan yang mudah, yaitu impor. "Beras, misalnya, memang harga impor lebih murah, tapi dampaknya mematikan petani," kata dia.

Menurut Fahmi, butuh kebijakan radikal dan komitmen kuat untuk mengurangi kebergantungan pada impor. Harus ada revolusi di bidang pangan, misalnya, pencetakan sawah, dan membangun sarana infrastruktrur pertanian lainnya.

Berli menambahkan guna menghindari polemik dan gejolak pangan, pemerintah sebaiknya tidak lagi mengklaim surplus beras sebelum melakukan pendataan produksi beras secara faktual dan sistematis.

Selain itu, menggelontorkan beras secara bertahap dengan tujuan menstabilkan harga, lalu dihentikan ketika masa panen tiba sehingga tidak mengurangi pendapatan petani Indonesia.

"Pemerintah juga mesti menjamin ketersediaan dan stabilitas harga pangan pokok, khususnya beras, serta respons cepat pada daerah yang kekurangan," tutur dia.

Berli juga menyarankan pemerintah agar kembali melakukan kampanye dan langkah sistematis diversifikasi pangan non-beras dengan mengutamakan makanan pokok yang diproduksi di daerah tersebut sehingga mengurangi permintaan beras jangka panjang. ahm/YK/WP

Baca Juga: