JAKARTA - Harga minyak dunia anjlok pada perdagangan Senin (9/3) menjadi 33 dollar AS dari sebelumnya 41 dollar AS per barel setelah Arab Saudi menurunkan harga guna melancarkan perang dengan Russia yang tak mau memangkas produksi minyaknya. Harga minyak mentah jenis brent ini mengalami penurunan terbesar sejak Perang Teluk 1991.

Para pengamat memperingatkan jatuhnya harga bisa memiliki konsekuensi yang luas, mulai menggagalkan pendapatan di negara-negara yang bergantung pada energi, hingga memicu pembatalan proyek eksplorasi minyak, bahkan memicu deflasi global.

"Penurunan 30 persen pada harga minyak mentah belum pernah terjadi sebelumnya dan mengirimkan gelombang kejut yang besar di pasar keuangan," kata analis dari CMC Markets, Margaret Yang.

Sementara itu, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, mengatakan masih harus melihat berbagai kemungkinan dampak penurunan harga minyak tersebut terhadap penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Menurut Sri Mulyani, meski penurunan harga minyak bisa menjadi stimulus di tengah kondisi perekonomian yang tertekan, meski di sisi lain memberikan ketidakpastian lebih besar terhadap pasar modal hingga pasar uang.

"Bagi Indonesia, terutama dari dunia dengan harga minyak yang turun di dalam kondisi ekonomi yang sedang tertekan, mungkin ini menjadi bentuk positif dalam artian bisa stimulate, tidak membebani," katanya.

Menkeu menambahkan, penurunan harga minyak dunia juga bisa menimbukan ketidakpastian lebih besar terhadap pasar modal, pasar uang, sehingga dampak psikologis akan memengaruhi dari sisi positif harga energi menjadi lebih murah.

"Diharapkan juga akan mampu menekan beban impor dalam negeri. Itu saya harap di neraca migas," ujarnya.

Menghukum Russia

Pada pertemuan pekan lalu, Arab Saudi memimpin dorongan lewat para menteri OPEC untuk mengurangi produksi, sebagai langkah untuk melawan dampak wabah virus Covid-19. Namun, cara itu bergantung pada kesepakatan dari sekutu utama OPEC, Russia.

Namun, Russia sebagai produsen minyak terbesar kedua di dunia, menolak untuk memperketat pasokan, dan Riyadh kemudian melakukan pemotongan harga terbesar dalam 20 tahun pada hari Minggu, sehingga terjadi kekacauan di pasar minyak. Ekuitas Saudi merosot lebih dari 9 persen sebagai respons atas titan minyak Aramco yang kehilangan 10 persen.

Analis pasar senior di OANDA, Jeffrey Halley, mengatakan bahwa Arab Saudi tampaknya berniat menghukum Russia.

"Harga minyak kemungkinan akan ditutup selama beberapa bulan ke depan karena virus korona menghambat pertumbuhan ekonomi, dan Arab Saudi membuka pompa dan menawarkan diskon besar pada nilai minyak mentahnya," ujarnya.

Sementara itu, OCBC Bank Singapura mengatakan ekonomi global dapat terpukul oleh deflasi jika minyak mentah bertahan di kisaran 30 dollar AS untuk waktu yang lama karena harga minyak memainkan peran kunci dalam mendorong inflasi.

"Ini akan mendorong pihak berwenang untuk melonggarkan kebijakan moneter ketika mereka mencoba untuk menghentikan siklus deflasi yang tidak terkendali," kata OCBC.AFP/SB/uyo/AR-2

Baca Juga: