JAKARTA - Sekalipun sudah mengimpor berbagai komoditas bahan pokok seperti beras, namun hingga awal tahun 2024, pemerintah dinilai belum mampu mengendalikan kenaikan harga pangan.

Hal itu terlihat pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan inflasi pada Januari 2024 sebesar 0,04 persen. Khusus beras, harganya pada Januari lalu naik 0,64 persen dengan andil terhadap inflasi utama 0,03 persen.

Pelaksana Tugas Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, di Jakarta, Kamis (1/2), mengatakan untuk inflasi tahunan pada Januari 2024 tercatat 2,57 persen yang didorong oleh inflasi pada sejumlah komoditas, di antaranya beras, sigaret kretek mesin, bawang putih, dan tomat.

"Berdasarkan kelompok pengeluaran inflasi tahunan terbesar terjadi pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar 5,84 persen dan memberikan andil 1,63 persen terhadap inflasi umum," kata Amalia.

Lebih lanjut, Amalia mengatakan kenaikan harga beras terjadi di 28 provinsi, sedangkan harga beras di 10 provinsi lainnya menunjukkan penurunan. Kemudian, seluruh provinsi di Pulau Jawa dan Bali Nusa Tenggara (Nusra) disebut mengalami kenaikan harga beras.

"Salah satu pendorong kenaikan harga ini antara lain karena kurangnya pasokan di beberapa wilayah terutama akibat dari faktor cuaca dan rusaknya beberapa akses jalan dan hambatan distribusi komoditas pangan," jelas Amalia.

Tingginya harga beras dipengaruhi oleh suplai yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan permintaan yang tinggi.

Salah satu isu yang menyebabkan tingginya harga beras adalah beberapa negara penghasil beras menahan ekspornya sehingga menyebabkan harga di pasar global relatif naik.

Makin Berantakan

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, mengatakan cuaca tidak bisa dijadikan alasan karena cuaca sudah diperkirakan jauh-jauh hari. Pemerintah punya kebijakan pangan yang semestinya membawa negara ini menuju daulat pangan.

Jangankan cuaca, yang namanya kebijakan pangan semestinya sudah termaktub di dalamnya rencana detail bagaimana menghadapi segala sesuatu yang terjadi di masa depan. "Selain itu ada perubahan kebijakan dari bantuan tunai menjadi bansos beras, ini makin membuat stok beras kita jadi berantakan," kata Henry.

Saat ini, antara Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Kering dan Harga Eceran Tertinggi jaraknya terlampau jauh. HPP hanya 5 ribu per kilogram, sementara HET bervariasi bahkan beras premium sampai 14 ribu rupiah per kilogram. Hal itu menyebabkan Bulog tidak cukup punya cadangan beras karena tidak bisa membeli gabah di pasar yang harganya di atas HPP.

"Bulog juga tidak punya stok pangan memadai dari masa ke masa, kalau kebutuhan tiap bulan 2,5 juta ton, minimum standar internasional paling sedikit wajib punya tiga juta ton. Sekarang berapa? Jauh dari standar itu. Maka saat ada sedikit saja perubahan produksi, ya terganggu," kata Henry.

Baca Juga: