JAKARTA - Harga beras bakal terus bergejolak di beberapa waktu ke depan. Persediaan beras sejumlah ritel modern di Depok, Jawa Barat misalnya terpantau kosong, Minggu (11/2). Itu sudah berlangsung dalam beberapa hari terakhir.

Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti mengatakan harga beras saat ini melambung tinggi. Kata dia, penguasaan pasar beras oleh segelintir perusahaan besar disinyalir jadi penyebab harga beras tak kunjung turun meski pemerintah rajin impor jutaan ton beras.

Menurutnya, Perum Bulog tak mampu mengendalikan harga karena peran yang minim. "Harga beras yang tinggi saat ini disebabkan oleh pasokan yang terbatas. Di sisi lain, dominansi pasar beras di dalam negeri dikuasai oleh segelintir konglomerat, alih-alih dikuasai oleh negara lewat Perum Bulog," ungkap Esther di Jakarta, Jumat (9/2).

Dia menyebutkan para konglomerat yang menguasai pasar beras saat ini menjadi penentu harga di saat pasokan beras dalam kondisi terbatas. Sementara market share beras yang dikuasai oleh negara lewat Bulog masih minim. "Hukum ekonomi itu namanya oligopoli, mereka lah price determinate, dan Bulog hanya jadi price follower doang. Itu enggak boleh terjadi," jelasnya.

Karenanya, Esther memandang perlunya perubahan kondisi tersebut dengan menjadikan Bulog menguasai sebagian besar pasar beras nasional. Dengan begitu, pengendalian atas harga beras lebih mudah oleh pemerintah.

Selain itu, Esther memproyeksikan harga beras belum akan turun ke level Harga Eceran Tertinggi (HET) dalam waktu dekat. Sebab, peningkatan produksi beras menjadi solusi jangka panjang untuk pengendalian harga dan kemandirian negara dalam pemenuhan kebutuhan beras nasional.

General Manager UB Bulog Sentra Niaga, Topan Ruspayandi menyebut saat ini penguasaan beras komersial oleh Bulog hanya sekitar 300 ribu ton per tahun. Artinya kata dia, hanya sekitar 1 persen dari rata-rata konsumsi tahunan secara nasional yang mencapai 30 juta ton.

Tingkatkan Kapasitas

Dia mengakui belum lama ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bersurat ke Bulog dan mengusulkan agar perusahaan plat merah itu setidaknya bisa menguasai 20 persen market share untuk beras.

Di sisi lain, Bulog sendiri telah memiliki kapasitas untuk meningkatkan kapasitas komersil dengan membangun 10 pusat penggilingan padi baru hingga 7 pengolahan beras rice to rice maupun paddy to rice.

"KPPU menyarankan agar Bulog menguasai minimal 20 persen market share dari beras, supaya perdagangan beras di Indonesia ini bisa lebih terkontrol," ungkap Topan.

Mengutip panel harga pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), rata-rata harga beras medium secara nasional per 9 Februari 2024 tercatat sebesar 13.600 rupiah per kilogram (kg) dan 15.530 per kg untuk beras premium.

Harga beras masih jauh di atas HET yang ditetapkan pemerintah dalam Perbadan No.7/2023 sebesar 10.900-11.800 rupiah per kg untuk beras medium dan 13.900-14.800 rupiah per kg untuk beras premium.

Dari Yogyakarta, Awan Santosa mengatakan, liberalisasi pangan membuat pengendalian harga pangan lebih sulit dan masyarakat kecil yang selalu menjadi korban. Untuk itu perlu mengembalikan peran strategis negara di pangan melalui revitalisasi Bulog, serta demokratisasi produksi dan tata niaga pangan melalui lumbung pangan dan penguatan koperasi pangan.

"Optimalisasi peran Bulog sebagai penyangga (buffer) stok pangan, distribusi dan stabilisasi harga pangan," pungkas Awan.

Baca Juga: