BBM nonsubsidi, terutama Pertamax series belum sepenuhnya mengikuti mekanisme pasar.
JAKARTA - Harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi Pertamina, seperti Pertamax series dinilai layak dinaikkan. Sebab, jika tidak akan membebani keuangan perusahaan minyak dan gas (migas) berpelat merah itu.
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, menyatakan sudah lama BUMN tersebut menahan harga Pertamax series, meski tekanan harga minyak dunia tinggi akibat konflik Timur Tengah. Padahal di sisi lain, SPBU swasta sudah beberapa kali menaikkan harga BBM.
Selain itu, lanjut dia, kondisi saat ini juga masih berat, termasuk nilai tukar yang berada pada kisaran 16.000 rupiah/dollar AS. "Kurs sudah bergerak sekitar 5 persen makanya Pertamina layak menaikkan harga BBM nonsubsidi. Yang penting kenaikan tersebut tidak memberatkan masyarakat," katanya di Jakarta, Minggu (28/7).
Dia menambahkan, komposisi terbesar dalam menentukan harga BBM adalah harga ICP karena merupakan bahan baku. Jadi, kalau harga ICP lebih tinggi dibandingkan nilai tukar maka harga ICP yang dominan menentukan harga BBM tersebut.
"Kalau keduanya bergerak naik (nilai tukar dan ICP) maka mempercepat penyesuaian harga BBM," katanya.
Sebelumnya, Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto, mengatakan harga BBM nonsubsidi seperti Pertamax dan sejenisnya memang mengikuti pergerakan harga di pasar. Karena itu, perusahaan bisa menyesuaikan lebih fleksibel.
Seperti diketahui, harga Pertamax dan sejenisnya tidak berubah sejak Februari 2024 meski harga minyak dunia naik. Saat ini, harga jual Pertamax series jauh di bawah BBM SPBU swasta, seperti Shell, Vivo, dan BP.
Untuk RON 92, pada Juli 2024, Pertamina menjual Pertamax 12.950 rupiah/liter, sedangkan Super Shell 13.810 rupiah/liter, Revvo 92 (produk Vivo) 13.600 rupiah/liter, dan BP 92 seharga 13.450 rupiah/liter.
Sedangkan RON 95, harga jual BBM Pertamina (Pertamax Green) adalah 13.900 rupiah/liter. Harga tersebut jauh lebih rendah dibandingkan Shell V Power dan BP Ultimate (produk BP), masing-masing 14.700/liter rupiah. Begitu juga dengan Revvo 95 (dari Vivo) yang dijual 14.500 rupiah/liter.
Sementara untuk RON 98, Pertamax Turbo dijual 14.400 rupiah/liter. Harga tersebut jauh di bawah produk Shell, yaitu V Power Nitro yang dijual 14.930 rupiah/liter.
Senada, ekonom senior Ryan Kiryanto menyatakan sudah saatnya PT Pertamina (Persero) menyesuaikan harga BBM nonsubsidi, seperti Pertamax series guna menjaga kondisi keuangan perusahaan.
"Tidak masalah kalau saat ini harga BBM nonsubsidi harus dinaikkan. Penyesuaian tersebut akan menjaga cash flow perusahaan, menjaga kondisi keuangan Pertamina, sekaligus untuk kesinambungan suplai ke depan," kata Ryan, akhir pekan lalu.
Pertimbangan Keuangan
Evaluasi terhadap penyesuaian harga BBM nonsubsidi Pertamina memang harus dilakukan, lanjutnya, sebab selama empat bulan tidak menaikkan harga, tentu berpengaruh terhadap kondisi finansial BUMN tersebut. Terlebih harga minyak dunia juga berfluktuasi dan bahkan sempat melonjak sejak Maret 2024.
"Kalau saat ini harga BBM nonsubsidi dinaikkan, hitung-hitungannya mungkin sebagai 'kompensasi', karena selama beberapa bulan harga BBM nonsubsidi tidak disesuaikan, padahal di sisi lain harga minyak dunia ketika itu sedang naik," katanya.
Menurut dia, keputusan ketika itu untuk tidak langsung menaikkan harga BBM nonsubsidi sudah tepat sebab, daya beli masyarakat memang sedang melemah.
Dalam hal ini, tambahnya, meski BBM nonsubsidi bukan untuk masyarakat bawah, tetapi jika harga langsung dinaikkan dikhawatirkan akan menimbulkan efek baik langsung maupun tidak langsung.
"Karena bisa merembet ke harga-harga barang di pasar. Sementara barang di pasar, yang membeli kan bukan hanya orang kaya, tetapi juga orang miskin," ujarnya.
Meski demikian, Ryan menegaskan jika harga BBM nonsubsidi akan dinaikkan maka perusahaan negara tersebut harus memperhatikan beberapa hal di antaranya bahwa kenaikan harga tidak membebani masyarakat dan tidak memberikan efek kepada inflasi.
"Jadi, harus dijaga betul pada tingkat harga berapa BBM nonsubsidi jika ingin dinaikkan, yang tidak memiliki efek inflasi yang kuat," katanya.