Hal yang terus diharapkan Leani Ratri Oktila adalah support atau dukungan untuk atlet difabel sama seperti halnya dengan atlet normal. Pasalnya, perjuangan mereka sama, kerja kerasnya sama, target sama, dan sama-sama mengharumkan nama Indonesia. Bahkan, atlet difabel harus berjuang dengan keterbatasan.

Setelah sukses meraih dua emas, satu perak di edisi Tokyo 2020, Leani Ratri Oktila kembali berhasil merebut satu emas dan satu perak di Paralimpiade Paris 2024.

Leani bersama Hikmat Ramdani menyabet emas pada nomor ganda campuran klasifikasi SL3-SU5 setelah menaklukkan rekannya sesama atlet Indonesia, Fredy Setiawan- Khalimatus Sadiyah dengan skor 21-16, 21-15. Sedangkan di nomor tunggal, dia merebut perak nomor SL4 seusai ditundukkan wakil Tiongkok Cheng He Fang (14-21, 18-21).

Prestasi itu jelas sangat membanggakan dan diharapkan akan menginspirasi atlet-atlet difabel Indonesia yang akan berjuang pada Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) XVII Tahun 2024 di Kota Solo pada 6-13 Oktober 2024.

Gelaran Peparnas di Solo nanti akan mempertandingkan 20 cabang olahraga dan National Paralympic Committee (NPC) Indonesia menyebut Peparnas XVII 2024 akan menjadi miniatur Asean Para Games 2025.

Bagaimana harapan dan perjuangan panjang Leani hingga menorehkan prestasi yang membanggakan itu, wartawan Koran Jakarta, Benny Mudesta, mewawancarainya dalam sejumlah kesempatan. Berikut petikannya.

Selamat atas prestasi di Paralimpiade Paris 2024. Bisa diceritakan persiapan kali ini?

Saya mempersiapkan diri setelah melahirkan. Kondisi itu memang membuat saya lebih ekstra di Paralimpiade 2024. Karena saya yang dulunya sedikit wide training sekarang harus lebih mengembalikan performa lagi. Tapi, ternyata tak ter-cover untuk single. Saya rasa, saya kurang latihan keras lagi.

Tapi saya bersyukur, kami sudah pulang ke Indonesia dengan raihan medali yang maksimal, satu emas dan satu perak buat saya.

Kali ini berpasangan dengan rekan yang berbeda di ganda campuran, bagaimana adaptasinya?

Di Prancis dengan Hikmat. Ya, sekalipun dengan partner yang berbeda. Ini tentunya saya sangat bersyukur. Waktu kali pertama dipasangkan, saya merasa seperti keluarga dengan Hikmat. Jadi, mungkin karena saya lebih tua, lebih mengajarkan. Tapi, bukan yang senioritas. Tidak ada senior-junior.

Usai medali meraih medali emas di Paris, apakah Los Angeles 2028 menjadi target selanjutnya?

Kalau diberikan kesehatan dan masih sanggup bersaing dengan teman-teman di tahun 2028 (Los Angeles) nanti, saya berharap bisa bermain. Saya berharap bisa bermain di ganda putri. Namun, saya juga realistis. Di Los Angeles nanti usia saya sudah 37 tahun. Persaingan juga makin ketat karena perkembangan lawan di luar negeri sudah sangat baik, tetapi bukan berarti di sini tidak baik.

Saya kira di Indonesia banyak yang bisa meniru prestasi saya. Banyak bibit pemain yang bisa bermunculan ke depannya. Kami punya bibit yang luar biasa. Semoga di tahun berikutnya sudah ada generasi lainnya.

Tentang bonus yang diberikan pemerintah, akan digunakan untuk apa?

Saat ini mikirnya masih bermain. Jadi, hanya investasi dulu, terutama untuk sawit karena saya dari Pekanbaru, Riau. Jadi, di sana banyak sawit.

Berbicara tentang bulu tangkis, bagaimana awal karier?

Saya berawal dari latihan di desa di Kabupaten Kampar, Riau, sejak umur tujuh tahun, sejak SD-SMP saya bergabung di klub Angkasa badminton. Jadi yang paling berjuang itu orang tua saya. Kami tetap bisa latihan di lapangan terbuka yang hanya sendiri. Gimana Papa saya itu nyari kok-kok bekas di GOR-GOR untuk bisa latihan.

Bagaimana awal karier menjadi seorang atlet para-badminton?

Dahulu, saya mengawalinya menjadi atlet normal pada umumnya. Pada suatu ketika ada musibah menimpa saya sehingga lutut saya tidak bisa normal seperti sediakala dan di saat waktu yang tepat saya ditawari oleh National Paralympic Committee (NPC) Provinsi Riau untuk mengikuti turnamen antarprovinsi dan akhirnya debut saya Peparnas 2012 untuk pertama kalinya. Awalnya juga orang tua tidak mengizinkan, tapi namanya juga tekad untuk ingin berprestasi pokoknya nekat aja sampai sekarang ini.

Boleh tahu cerita detailnya?

Tahun 2010, saya mengalami kecelakaan ditabrak mobil tentara, terseret di aspal patah kaki kiri dan tangan kanan. Awalnya kaki saya berbeda 1,5 cm, karena saya berjalan terus, lama-lama semakin panjang perbedaannya, terakhir diukur sudah 11 cm. Selama tiga bulan saya hanya bisa tidur dan duduk karena tangan juga patah dan gips. Selama tiga bulan itu, saya memang hanya di kasur tidak ke mana-mana. Pas ketika kecelakaan itu saya merasakan ini rasanya istirahat, karena saya tidak pernah istirahat di rumah waktu itu.

Pertama kali dirasakan ketika kembali, tapi menjadi atlet difabel?

Terharu dan sedih. Penolakan dari keluarga juga ada, "Ratri gak main lagi kata Bapak, itu raketnya sudah saya gantung, biar saja dia istirahat, fokus kuliah." Waktu itu saya bohong lagi, saya bilang ke Bapak saya akan kuliah, tapi datang ke gedung itu dan ikut bertanding.

sangat ingin kembali bermain?

Karena saya tahu keluarga saya itu penuh kasih mereka takut saya minder. Saya waktu itu tidak berniat main dan bertanding meski tawaran sudah banyak. "Ayolah segera main" minta pengurus-pengurus yang di Riau. Saat saya main, adik-adik saya semuanya datang, ramai karena saya 10 bersaudara. Pas main, saya lihat adik-adik di tribun. Saya pikir mereka mendukung, tapi ternyata mereka bilang malu melihat saya main lagi. Waktu itu mereka belum paham, bukan hanya mereka, kebanyakan di Indonesia untuk atlet difabel dipandang sebelah mata, padahal prestasinya sama. Terus saya bilang ke mereka, bedanya saya apa, kan sama-sama manusia. Pertama kali turun, saya sudah dapat satu emas dan satu perak. Saya bawa medali itu ke rumah, di situ saya meyakinkan bapak. Ini dunia saya. Saya nyaman di sini. Bapak saya melihat medali itu nggak ngomong, tapi medali pertama saya di difabel itu langsung dipajang dekat fotonya dia. Tapi, dari Ibu saya dengar Bapak ngomong, dalam kondisi begini saja dia masih bisa ngasih kita medali.

Apakah ada perbedaan bermain sebagai atlet difabel?

Tidak ada perbedaan, semuanya sama, dari target, latihan dari pertandingan dan yang saya salut dari mereka itu, saya juga ikut porprov, porseni saat masih normal, di pelatnas difabel ini saya merasakan tingkat difabel berbeda-beda, ada yang dari bawaan lahir dan kecelakaan seperti saya. Dari semua keterbatasan itu latihan mereka selalu semangat. Saya juga bersemangat melebih saat masih normal.

Siapa sosok yang berpengaruh terhadap pencapaian hingga saat ini?

Bapak saya, karena saya tidak ingin melihatnya kecewa. Mungkin kebanyakan anak perempuan dekat sama ibunya, tapi saya yang paling saya kagumi Bapak saya. Beliau orangnya keras, dari kecil saya sudah dididik dengan keras dan disiplin. Saya pertama kali melihat air mata Bapak waktu saya kecelakaan. Dari situlah, bagaimana caranya bisa membuat Bapak bangga. Tapi waktu itu bukan sebagai atlet, tapi saat wisuda nanti. Itu yang membuat saya bertekad membuat beliau tidak pernah bersedih lagi. Apalagi Bapak itu merasa sangat tertekan ketika melihat saya patah, padahal lebih tertekan lagi saat melihat Bapak menangis. Orang yang kuat seperti itu, menangis melihat kondisi saya, padahal hati saya tidak serapuh itu waktu itu. Saya merasa saat itu mengecewakan beliau, saya ingin meyakinkan beliau bahwa saya tidak apa-apa.

Kapan pernah merasakan titik terendah dalam hidup?

Ketika saya kecelakaan mungkin saat itu merasakan titik terendah. Tapi setelah menjadi atlet lagi, itu saya rasakan di Asian Paragames 2018. Saat itu saya berlatih sangat keras, bangun duluan dari temanteman. Saya berangkat sebelum mereka bangun dan pulang setelah mereka tidur. Itu yang saya lakukan selama setahun dengan target yang saya tuju tiga emas. Untuk mix saya yakin, untuk double yakin, yang berat di single. Apalagi saat itu berlangsung di Indonesia saya ingin menunjukkan kemampuan saya, tapi ternyata saya kalah di single. Saat itulah saya merasa terpuruk. Saya kalah saat itu karena grogi. Saya merasa tertekan.

Bagaimana cara menjaga performa agar terus berprestasi?

Saya sering mendapat penghargaan barengan dengan atlet normal, seperti Kevin (Sanjaya), Greysia (Polli). Mereka bilang, kamu itu main tiga nomor, kalah di satu nomor terpuruk. Kami saja main di satu nomor belum tentu menang. Itu yang memotivasi saya. Di difabel ini saya menjaga performa saya dengan tidak peduli pada omongan orang lain. Saat saya capek, saya isi dengan cara saya sendiri. Kalau di pertandingan saya merasa lebih ke mental dibanding fisik. Kalau di latihan jauh lebih keras secara fisik daripada di pertandingan.

Kembali kepada kondisi saat awal bermain dengan kondisi lutut tidak normal, bagaimana beradaptasi dengan itu?

Pastinya rasa sakit. Badminton kan pas main pergerakan harus lincah untuk mengejar shuttlecock. Berlari ke sana ke mari maju mundur pasti beban di lutut terasa banget kan. Tapi, lama-kelamaan juga saya terbiasa sampai sekarang ini.

Sejak Asean Para Games Singapore 2015 sampai sekarang terkadang sering berganti partner dan main tiga sektor sekaligus, apakah berpengaruh juga pada saat di lapangan?

Dahulu sempat berpartner sama Fredy Setiawan dan pada akhirnya sekarang sudah tetap sama Mas Harry Susanto di sektor ganda campuran. Terkadang juga kalau partner saya tidak hadir seperti kemarin di Dubai Khalimatus Sadiyah Sukohandoko berhalangan disebabkan mengikuti UNAS, ya terpaksa saya mencari partner dari negara lain, dan akhirnya ada atlet dari Prancis, Faustine Noel, bersedia. Seperti halnya Mas Fredy kan juga sama di sektor ganda campuran juga sama atlet dari Skotlandia, Mary Margaret Wilson, dan di ganda putranya sama Kumar Nitesh dari India. Kalau main di tiga sektor memang capek banget, apalagi dari pertandingan satu ke yang lain istirahat cuman 20-30 menit, habis itu main lagi. Bagi kami, badminton adalah sudah pekerjaan, tetap membawa nama Indonesia di luar negeri.

Bagaimana dengan support dari suami dan untuk anak akan diarahkan ke mana?

Orangnya selalu support kepada saya di mana pun saya mengikuti turnamen berada. Suami pemain bola, saya bulu tangkis. Jadi tergantung anak. Tapi untuk saat ini, dia sih seringnya main bulu tangkis. Karena lebih sering memegang raket, ketimbang bola.

Ada pembicaraan mengenai price money untuk turnamen para-badminton. Apakah ada seperti atlet normal pada umumnya?

Jujur saja sih tidak ada untuk itu. Berharap ada price money sih seperti atlet normal pada umumnya Kami sebagai atlet untuk berangkat mengikuti turnamen rutin dari BWF aja dari NPC dan sebagian dana sendiri. Saya sempat mengirim sebuah pesan kepada pihak BWF mengenai ini dan merespons bahwa memang tidak ada untuk price money untuk atlet para badminton. Cukup disayangkan sekali dan berharap kalau ada price money bisa menutupi biaya pulang pergi kami dan sedikit ada uang saku buat kami.

Apa yang ingin disampaikan kepada seluruh masyarakat Indonesia?

Hal ingin terus saya harapkan adalah support dan dukungan untuk atlet difabel sama seperti atlet normal karena perjuangan sama, kerja kerasnya sama, targetnya sama, dan sama-sama mengharumkan nama Indonesia. Bahkan, atlet difabel harus berjuang dengan keterbatasan. Untuk pemerintah saya sangat berterima kasih karena saya merasakan sebagai atlet sudah lebih dari cukup.

Tantangan sebagai atlet, semua orang pasti merasakan capek, jenuh, nggak mungkin semangat terus. Saya menyibukkan diri agar tidak jenuh. Saya juga sangat bersyukur dengan hasil yang saya raih bisa berbagi dengan orang lain. Di kampung, saya membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain, membantu masyarakat di sana.

Baca Juga: