Negara-negara berkembang habiskan sekitar 0,5 persen dari PDB untuk air setiap tahun.

Negara-negara maju penyumbang emisi besar dan memiliki dampak iklim signifikan.

JAKARTA - Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa dunia hanya punya waktu tujuh tahun untuk mengejar Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs), terutama yang berkaitan dengan air.

Polusi air dan perubahan iklim sendiri menjadi tantangan mendesak yang harus diselesaikan guna mencapai target SDGs. Saat ini, sekitar empat juta orang hidup di wilayah krisis air dan satu dari empat kota menghadapi kerawanan air.

Sebab itu, diperlukan langkah signifikan untuk memastikan keamanan air bagi semua orang di dunia. Salah satunya melalui sejumlah kerja sama dan kebijakan, termasuk investasi dan pembiayaan yang besar. Infrastruktur air saja diperkirakan membutuhkan dana sebesar 6,7 triliun dollar AS pada 2030.

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, dalam sesi panel World Water Forum ke-10 tahun 2024 di Bali, mengatakan air adalah aspek penting dalam kehidupan masyarakat sehingga pemerintah mengalokasikan sekitar 3,4 persen belanja dari APBN.

Secara global, pada 2009, dunia hanya mengalokasikan 8,7 miliar dollar AS dalam bentuk bantuan pembiayaan untuk pembangunan air dan sanitasi. Jumlah tersebut tergolong kecil dibanding kebutuhan investasi tahunan di bidang air dan sanitasi yang jauh lebih besar.

Negara-negara berkembang tercatat menghabiskan sekitar 0,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk air setiap tahunnya, dan hanya 70 persen dari anggaran tersebut yang dibelanjakan. "Jadi uangnya sudah kecil, penyerapan dan eksekusinya pun semakin kecil," katanya.

Oleh sebab itu, diperlukan peraturan yang jelas dan tepat dalam skema pembiayaan campuran atau blended finance guna menarik lebih banyak investasi di sektor air dan sanitasi.

Pakar konservasi tanah dan air dari Universitas Brawijaya, Didik Suprayogo, mengatakan untuk memastikan keamanan ketersediaan air, perlu upaya untuk mengatasi masalah lingkungan di kawasan hulu dengan melibatkan peran serta masyarakat.

"Pembenahan atau konservasi air ini bisa dilakukan dengan reboisasi, menyediakan daerah resapan, penataan kawasan pemukiman, dan lainnya. Langkah-langkah konservasi lingkungan seperti reboisasi lebih bermanfaat dan efektif mencegah bencana banjir," kata Didik.

Pemerintah juga bisa mendorong Pemda di hulu untuk menertibkan kawasan yang seharusnya jadi resapan. Hal itu akan jauh murah dan jelas bermanfaat bagi keberlanjutan lingkungan.

"Secara keilmuan akan lebih efisien dibanding pembenahan di hilir seperti membangun tanggul. Selain itu, dengan menjaga dan meningkatkan kandungan air tanah, dan debit sungai, akan meningkatkan daya desak air laut yang masuk ke sungai sehingga tidak sampai harus membuat tanggul," ujar Didik.

Negara Maju

Peneliti Lingkungan Hidup dari Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi, menegaskan perlunya upaya serius mengatasi masalah air ini dan yang paling bertanggung jawab adalah negara-negara maju.

"Negara-negara maju penyumbang emisi besar dan memiliki dampak iklim signifikan harus berkontribusi lebih untuk penanganan dampak perubahan iklim dan proses adaptasi yang diperlukan," tegasnya.

Terkait pembiayaan, dia menekankan bahwa pembiayaan infrastruktur air perlu dipadukan terintegrasi dengan pengembangan ekonomi lokal terutama menyangkut pangan dan energi sehingga pendanaan jauh lebih efisien.

Adapun bentuk pembiayaannya bisa dipadukan dengan komitmen climate and biodiversity action, sedangkan dana adaptasi iklim yang diatur dalam Paris Agreement dan juga framework kerja sama tentang biodiversity seperti Protocol Nagoya dan Kumning-Montreal Global Biodiversity Framework.

"Pembiayaan infrastruktur air tidak mesti harus terkait dengan megaproyek seperti bendungan, tetapi bisa juga terkait konservasi daerah tangkapan air dan daerah aliran sungai yang tentunya akan berkaitan dengan keberlanjutan lingkungan," katanya.

Baca Juga: