oleh dr agus riewanto
Elite politik mau menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk memandu pembangunan nasional berjangka panjang melalui amendemen kembali UUD 1945. Bagaimanakah prospek gagasan ini bagi masa depan bangsa?
Harus diakui, tanpa haluan negara sistem pembangunan pasca-Reformasi 1998 sangat bergantung pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang disusun berdasarkan program yang ditawarkan Presiden. Program ini telah disetujui mayoritas rakyat dalam pilpres setiap lima tahun. Maka, pembangunan nasional bukan program rakyat, tapi kehendak politik presiden berdasarkan persetujuan rakyat dalam pilpres. Rakyat dianggap telah menyetujui program pembangunan nasional yang dicanangkan calon presiden saat berkompetisi dalam pilpres.
Program pembangunan nasional tanpa panduan haluan negara akan cenderung mengarah pada orientasi politik dan ideologi parpol pengusung presiden dan masa jabatan yang hanya lima tahun. Akibatnya, pembangunan nasional tidak dapat berjalan berkesinambungan antara satu presiden dan pengganti. Maka, pembanguan nasional sangat bergantung pada watak-corak politik dan ideologi parpol pengusung presiden.
Sekiranya presiden berwatak politik liberal, program pembangunan selama lima tahun juga begitu. Sedangkan jika presiden seorang sosialis, sangat boleh jadi program pembangunan pun berwatak sosialis. Beda jika ada panduan haluan negara yang memungkinkan dirancang program pembangunan jangka panjang, tanpa bergantung pada ikatan ideologi apa pun dengan presiden terpilih karena disusun atas dasar kebijakan negara yang berideologi Pancasila sebagai representasi seluruh ideologi politik. Presiden dapat melaksanakan mandat haluan negara, bukan atas dasar kehendak dan orientasi ideologi parpol penggusung.
Upaya menyusun GBHN telah dilakukan sejak awal kemerdekaan sebagai bagian dari model perencanaan ekonomi yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945. Pada saat itu, Presiden Soekarno membentuk KNIP berdasarkan Maklumat No X tanggal 16 Oktober 1945. KNIP bertugas membantu presiden menyusun GBHN, sebelum terbentuk MPR dan DPR. Namun, keadaan revolusi tidak memungkinkan pemerintah melaksanakan secara sempurna GBHN tersebut (Aidil Fitriciada:2010).
Langkah penyusunan rencana ekonomi secara sistematik dilakukan pertama kali semasa Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) yang merupakan kabinet pertama setelah kembali dari RIS ke NKRI. Baru pada tahun 1955 tersusun naskah perencanaan yang kemudian menjadi Garis-garis Besar Rencana Pembangunan Lima Tahun 1956-1960. Hal ini kemudian dituangkan dalam UU No 85 Tahun 1958 tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun 1956-1960.
Pada tahun 1960, pasca-Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, MPRS bentukan Presiden Soekarno, pertama kalinya mengeluarkan dua putusan berkenaan dengan perencanaan pembangunan. Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar daripada Haluan Negara dan Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama 1961-1969. Dari sejarah haluan negara ini dapat dipetik pelajaran gagasan mendasar tentang sistem ketatanegaraan masa lalu dan masa depan.
Sebagai Dasar
Sesungguhnya, GBHN diperlukan untuk menyusun dasar pembangunan jangka panjang. Ini sebagai perwujudan dari amanat perencanaan kebijakan ekonomi dalam bingkai negara kesejahteraan berbasis ekonomi kerakyatan Pasal 33 UUD 1945. GBHN juga wujud pelaksanaan UUD 1945 sebelum amendemen (asli), terutama Pasal 33. Dalam amendemen, Pasal 33 tidak pernah dihapus, malah ditambah menjadi 3 ayat pasca-amendemen UUD 1945. Maka, haluan negara tidak terkait dengan sistem pemerintahan presidensial atau parlementer.
Dalam sistem pemerintahan apa pun, garis besar haluan negara diperlukan agar visi besar bangsa dapat diwujudkan siapa pun pemimpin pemerintahan. Maka, tugas pemimpin pemerintah tinggal mewujudkan misi dalam bentuk program konkret setiap 5 tahun, tanpa harus membuat visi bangsa karena telah termaktub dalam haluan negara.
Untuk itu, menghidupkan haluan negara bukan berarti hendak kembali ke romantisme sejarah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto yang kelam selama 32 tahun (1966-1998). Orde Baru penuh praktik negara rente, hegemoni, dan berorientasi pada stabilitas politik. Juga tidak bermaksud menghidupkan kembali supremasi MPR sebagai lembaga "tertinggi" negara.
Jika merujuk sejarah pembentukannya, GBHN bukan warisan Orde Baru, tapi pendiri bangsa, Soekarno-Hatta. Keduanya membuatnya untuk mewujudkan mimpi besar Indonesia jangka panjang. Hanya, memang dikemudian hari GBHN direduksi oleh Presiden Soeharto menjadi sangat berorientasi kapitalistik, KKN, dan demi stabilitas politik pembangunan.
Ini lebih disebabkan era Orde Baru telah menempatkan MPR, kendati sebagai lembaga "tertinggi" negara, namun para anggota MPR hanyalah kroni-kroni Presiden Soeharto. Itulah sebabnya, susunan GBHN merupakan cerminan watak kekuasaan Orde Baru, bukan politik kenegaraan.
Itulah sebabnya pula saat menyusun amendemen UUD 1945 selama 4 kali, 1999-2002, fungsi MPR untuk menyusun GBHN dilucuti. Bahkan, MPR tidak lagi berada dalam spektrum lokus kekuasaan "tertinggi." Dia diposisikan sejajar dengan presiden sebagai lembaga "tinggi" negara. Relasi presiden dan MPR hanyalah bersifat fungsional horizontal, bukan vertikal struktural.
Menghidupkan kembali GBHN bukan tabu, meski harus melalui amendemen UUD 1945 terbatas Pasal 3 UUD 1945. Di situ tinggal menambah kewenangan MPR untuk menatetapkan dan menyusun haluan Negara. Selanjutnya, dijadikan pedoman perencanaan pembangunan yang harus dilaksanakan presiden, lembaga-lembaga tinggi negara, dan para kepala daerah.
Agar amendemen UUD 1945 terbatas berjalan mendalam dari aspek filosofis, strategis dan tepat sasaran, biar dilaksanakan MPR periode 2019-2024. Namun, harus didului konsensus nasional dan tak lepas dari Pasal 37 UUD 1945. Hal ini perlu dilakukan agar isu amendemen UUD 1945 tidak liar dan seoalah-olah ingin mengembalikan pada romantisme Orde Baru, apalagi kembali ke sistem ketatanegaraan lama. Penulis Pengajar Pascasarjana Ilmu Hukum UNS