Negara Haiti saat ini dikuasai oleh geng-geng bersenjata. Kekerasan, korupsi, dan kemiskinan merupakan kehidupan sehari-hari negara itu, dan disebut menjadi krisis kemanusiaan terburuk di belahan Bumi barat.

Negara Haiti saat ini dikuasai oleh geng-geng bersenjata. Kekerasan, korupsi, dan kemiskinan merupakan kehidupan sehari-hari negara itu, dan disebut menjadi krisis kemanusiaan terburuk di belahan Bumi barat.

Haiti berbagi di tanah yang sama dengan Republik Dominika di Pulau Hispaniola. Negara ini berada di bagian barat dengan luas 27.750 kilometer persegi dengan tambahan empat pulau kecil. Sedangkan negara tetangganya itu berada di sebelah barat dengan luas 48.442 kilometer.

Haiti memiliki ekonomi yang kontras dengan negara tetangganya Republik Dominika. Tetangganya itu memiliki pendapatan nasional bruto per kapita pada tahun 2023 sebesar 9.700 dollar AS. Dari angka tersebut menunjukkan Republik Dominika saat ini termasuk dalam negara berpendapatan menengah.

Kembali ke Haiti, negara itu kini sedang dikuasai oleh geng bersenjata. Saat ini kekerasan, korupsi, dan kemiskinan merupakan kehidupan sehari-hari negara itu. Mereka menciptakan apa yang disebut sebagian orang sebagai krisis kemanusiaan terburuk di belahan Bumi barat.

Saat ini, sedikitnya 578.000 orang mengungsi dari rumah mereka. Lebih dari 1 juta orang menghadapi kelaparan dan kerawanan pangan. Kondisi yang tidak bersih membuat anak-anak dan kaum perempuan berisiko lebih tinggi terkena penyakit dan gangguan kesehatan.

"Ini bukan identitas kami," kata Darneley Saint-Vilus, Manajer Proyek di World Relief Haiti dikutip dari laman lembaga tersebut. "Geng bukanlah suara yang seharusnya didengar oleh masyarakat internasional. Kenyataannya, orang Haiti ramah. Kami bangga dengan budaya Haiti kami. Apa yang kami alami hari ini bukanlah identitas kami. Itu bukanlah budaya kami kapanpun," ungkap dia.

Kisahnya bermula pada Senin 4 Maret 2024. Saat itu geng-geng bersenjata menyerang Bandara Internasional Toussaint Louverture dan penjara saat, perdana menteri de facto Ariel Henry sedang berada di luar negeri. Setelah itu sepekan kemudian, pemerintah mengumumkan keadaan darurat.

Sebelum serangan, pemimpin geng di balik kekerasan itu, Jimmy "Barbecue" Chérizier, telah memperingatkan akan ada perang saudara yang akan mengarah pada genosida jika Henry tidak mengundurkan diri.

Selama sepekan sejak penyerangan bandara, geng-geng Haiti telah melakukan serangkaian serangan terkoordinasi terhadap penjara dan kantor polisi, membebaskan lebih dari 3.800 penjahat dari dua penjara terbesar Haiti serta mengepung pelabuhan dan bandara negara itu.

Sampai sekarang perdana menteri sedang berada di Puerto Rico dan mencoba untuk kembali ke Haiti. Haiti sendiri telah mengalami kemunduran sejak pembunuhan Presiden Jovenel Moïse pada 7 Juli 2021. Meski pemilihan umum belum diadakan sejak 2017 dan Henry telah kehilangan dukungan dari rakyat.

Saat ini Haiti sudah menghadapi krisis kemanusiaan. Negara ini termasuk salah satu negara termiskin di Amerika Latin dan Karibia, dengan 90 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Setelah gelombang kekerasan baru-baru ini, sekitar 15.000 orang yang sudah ditampung di kamp-kamp pengungsian internal terpaksa harus pergi lagi.

Henry berkuasa pada tahun 2021 berdasarkan kesepakatan yang disetujui dengan pihak oposisi setelah pembunuhan presiden Haiti, Jovenel Moïse. Henry secara luas dianggap tidak sah oleh publik Haiti dan diminta mengundurkan diri pada tanggal 7 Februari 2024. Namun, ia tampaknya akan memperpanjang masa jabatannya.

Di bawah pemerintahannya Haiti tidak ada jadwal untuk pemilihan umum baru. Negara ini terakhir kali mengadakan pemungutan suara pada tahun 2016. Sedangkan selama enam tahun terakhir, parlemen negara itu terhenti.

Rezimnya lemah dan tidak memiliki kendali atas wilayah negara yang menyebabkan situasi di mana Haiti menjadi sandera bagi geng-geng kriminalnya. Pejabat Amerika Serikat (AS) mengatakan mereka tidak akan menekan Henry untuk mundur, tetapi mereka mendesaknya untuk memfasilitasi transisi ke pemerintahan yang demokratis.

Sejarah Pergolakan

Di Haiti geng-geng yang melakukan kekerasan bukanlah hal baru. Antara tahun 1957 dan 1986, negeri ini diperintah sebagai kediktatoran oleh keluarga Duvalier. Setelah kudeta militer yang gagal pada tahun 1958, François Duvalier berusaha untuk menghindari angkatan bersenjata dengan membentuk milisi pribadi yang disebut Tonton Macoutes.

Macoutes terdiri dari para fanatik buta huruf yang berubah menjadi orang-orang bersenjata yang bertindak sebagai pasukan paramiliter. Mereka tidak bertanggung jawab kepada badan negara atau pengadilan mana pun dan sepenuhnya berwenang untuk menyingkirkan musuh-musuh presiden yang paranoid.

Kelompok tersebut dibubarkan pada tahun 1986, tetapi para anggotanya terus meneror penduduk. Geng-geng tersebut telah terlibat dalam pembantaian, serangan terhadap pemogokan buruh atau pemberontakan petani, dan pembunuhan bermotif politik sejak saat itu.

Haiti mengambil langkah pertamanya menuju transisi demokrasi penuh pada 1990 dengan memilih Jean-Bertrand Aristide sebagai presiden. Namun, pemerintahan Aristide digulingkan oleh kudeta militer tahun berikutnya dan tentara Haiti kemudian dibubarkan.

Tentara Haiti adalah pasukan yang sangat korup, tetapi dengan menyingkirkannya, negara tersebut tidak dapat lagi memerangi kejahatan terorganisasi. Pada saat itu, para pengedar narkoba Haiti bekerja sama erat dengan Kartel Medellín di Kolombia.

Mereka menyuap pejabat dan polisi sambil memindahkan ratusan ton kokain dari Kolombia ke dermaga-dermaga terpencil di Haiti dan seterusnya ke AS. Perdagangan narkoba menjadi sumber pendapatan yang kurang dikenal, namun signifikan bagi para elit politik dan bisnis Haiti yang memberi perlindungan dan dukungan logistik bagi para pengedar narkoba.

Upaya yang ditujukan untuk membubarkan kelompok-kelompok bersenjata tertentu dan bahkan angkatan bersenjata tidak pernah sepenuhnya berhasil. Mereka tidak pernah melucuti senjata dan telah mengubah diri mereka menjadi pasukan pembela hak-hak ekstrem seperti kelompok-kelompok pembela masyarakat dan paramiliter.

"Untuk mengakhiri krisis ini, Haiti membutuhkan pemerintahan terpilih. Namun, menyelenggarakan pemilu dalam iklim seperti ini bukanlah tugas yang mudah, dan tidak akan menyelesaikan akar penyebab pelanggaran hukum," ucap Nicolas Forsans, profesor Manajemen dan Wakil Direktur Pusat Studi Amerika Latin & Karibia, Universitas Essex, menurutkan pada laman The Conversation. hay/I-1

Baca Juga: