JAKARTA - Pesatnya perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sangat membantu kehidupan manusia pada semua bidang kehidupan. Namun, sayangnya kemudahan tersebut kurang diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).

"Itu terbukti dari hadirnya beragam masalah sosial dan etika yang muncul sebagai dampak dari kesibukan manusia berteknologi, yang berorientasi pada keuntungan dan sering melupakan sisi kemanusiaan," kata Prof. Dr. Retnowati dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di President University (Presuniv) kemarin.

Pidato yang bertopik "Digital Society, Perubahan Perilaku dan Empati pada Kemanusiaan: Pendekatan Antropologi" disampaikan kemarin di President Executive Club, Kota Jababeka, Cikarang, Bekasi.

Prof. Retno menekankan, pada era digital seperti sekarang dibutuhkan kajian antropologi untuk memprediksi kondisi sosial masyarakat. Perkembangan TIK telah mengubah pola interaksi, pola pikir, pola tindak dan perilaku masyarakat sehari-hari. Menurutnya, dulu interaksinya dengan tatap muka, masyarakat sekarang merasa lebih nyaman, lebih efektif dan lebih efisien berinteraksi di dunia maya.Kondisi tersebut menuntut perubahan cara melakukan penelitian.

"Sebelumnya penelitian antropologi dilakukan dengan pendekatan etnografi. Penelitian semacam itu menuntut para peneliti untuk datang dan tinggal bersama masyarakat yang ditelitinya dalam jangka waktu tertentu," papar Prof. Retno.

Seiring dengan perkembangan TIK yang memicu terjadinya perubahan, arena kajian pun berubah menjadi digital. Katanya, sekarang ini media sosial sudah menjadi potret dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Maka, apa yang terjadi di media sosial dapat menjadi data riset untuk kajian antropologi.

Prof. Retno menyebutkan, dari 281,7 juta penduduk Indonesia, 66% atau sebanyak 185,3 juta di antaranya merupakan pengguna internet. Lalu, sebanyak 139 juta atau 49% dari seluruh penduduk Indonesia tercatat aktif menggunakan media sosial. Untuk itu, penelitian antropologi perlu berubah dari semula memakai metode etnografi menjadi netnografi. "Netnografi adalah singkatan dari internet dan etnografi.

Prof. Retno melanjutkan, siapa pun bebas mengakses dan memproduksi informasi. Sayangnya banjir informasi ini tidak diimbangi dengan daya kritis dari pengguna media sosial. Akibatnya ruang publik pun menjadi riuh. Berbagai ide dan gagasan mengalir dengan tanpa filter dan seleksi.

"Setiap orang bebas mengekspresikan dirinya. Mereka meluapkan keinginannya, empati, kepedulian, bahkan sampai kebencian, purbasangka, hingga sumpah serapah," ungkap dia.

Setidak-tidaknya ada 10 media sosial yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia. WhatApps digunakan oleh 92,1% warganet, disusul Instagram (86,5%), Facebook (83,5%), TikTok (73,5%), Telegram (64,3%), X (57,5%), Facebook Messenger (44,9%), Pinteres (34%), Kuai-shou (32,4%), dan LinkedIn (25%).

Melihat kondisi itu, menarik untuk mendiskusikan posisi kebudayaan Indonesia yang telah diorganisasi oleh media sosial melalui berbagai informasi yang sengaja disebarluaskan. Katanya, menarik untuk mengkaji konstruksi media sosial yang telah berkembang tidak hanya merepresentasikan pengetahuan yang mendidik masyarakat, tetapi justru mendekonstruksi realita sosial.

Media sosial yang mestinya digunakan untuk membantu menyelesaikan masalah, membuat manusia menjadi lebih inovatif dan produktif, menurut Prof. Retno, justru banyak disalahgunakan. Contohnya, banyak penipuan perbankan online atau penyebaran link menyesatkan yang dikirimkan melalui WhatApps. Hoaks atau cyberbullying dilakukan melalui Instagram. Lalu, penyebaran video porno atau intimidasi dilakukan melalui TikTok; dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya.

Itu sebabnya kala masyarakat menuju era Society 5.0, usul Prof. Retno, teknologi, termasuk media sosial, sebaiknya digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup dengan membantu manusia menyelesaikan berbagai masalahnya. "Jadi, bukanmalah dipakai untuk menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Justru teknologi harus mengangkat dan meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan,"tegasnya

Sementara Prof. Ir. Onno Widodo Purbo, pakar teknologi informasi yang juga Wakil Rektor di Institut Teknologi Tangerang Selatan mengatakan, di era digital seperti sekarang, terlebih dengan adanya media sosial, prediksi perilaku masyarakat di masa depan harus dilakukan dengan berbasis data. "Bukan dengan ramalan, atau perkiraan lagi," katanya.

Adapun prosesi pengukuhan Prof. Retno dilakukan dalam sidang senat terbuka yang dipimpin Rektor Presuniv Handa S. Abidin. Dalam sambutannya sebagai ketua senat Presuniv, Handa S. Abidin, mengungkapkan bahwa Prof. Retno adalah guru besar ketiga yang dikukuhkan oleh Presuniv.

Baca Juga: