JAKARTA - Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, optimistis terhadap pertumbuhan keuangan digital di Tanah Air pada tahun 2023, di tengah adanya perkiraan perlambatan ekonomi global. Pada 2023, diproyeksikan nilai transaksi e-commerce dalam negeri akan meningkat mencapai 572 triliun rupiah.

"Perbankan digital meningkat mencapai 67.600 triliun rupiah dan uang elektronik mencapai 508 triliun rupiah," kata Perry dalam Rakornas Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (TP2DD) dipantau di Jakarta, Selasa (6/12).

Optimisme tersebut juga berkaca dari capaian digitalisasi di dalam negeri, yang mana pemda kategori digital naik 42 persen year on year (yoy) menjadi 283 pemda pada semester I 2022, dari sebelumnya sebanyak 199 pemda pada periode sama tahun lalu.

Seperti dikutip dari Antara, Perry menyebut industri pembayaran telah end to end antara seluruh pihak untuk melayani ekonomi pemerintah pusat dan pemda dengan adanya fast payment (BI-FAST), SNAP, QRIS, dan Kartu Kredit Pemerintah (KKP) Domestik.

Dia melanjutkan pengguna Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) di Indonesia mencapai 30 juta pengguna per November 2022, yang diperkirakan akan mencapai 45 juta pengguna pada tahun depan 2023.

Kemudian, sebanyak 75 persen lembaga jasa keuangan sudah menggunakan layanan BI Fast atau fast payment yang disediakan oleh BI.

Senada dengan optimisme itu, dalam kesempatan sama, Menteri Koordinator bidang Perekonomian (Menko), Airlangga Hartarto, menargetkan 65 persen pemda akan masuk kategori digital pada tahun 2023. "Di tahun 2023, kita menargetkan 65 persen pemda masuk kategori digital," kata Airlangga.

Mempermudah Masyarakat

Lebih lanjut, Perry melanjutkan digitalisasi telah mempermudah masyarakat membayar pajak dan retribusi. Sedangkan dari sisi belanja, digitalisasi telah meningkatkan efisiensi, mendukung pengelolaan, dan tata kelola keuangan.

Dia mengatakan diperlukan upaya memperkuat regulasi di pusat dan daerah untuk mempercepat elektronifikasi transaksi pemda dan menciptakan ekosistem digital yang lebih luas melalui penyediaan infrastruktur TIK untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah.

Selain itu, mengintegrasikan sistem informasi pengelolaan keuangan daerah secara nasional, meningkatkan sinergi pemerintah, BI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menguatkan ekosistem, serta memperluas kerjasama antara pemda dengan marketplace terkait transaksi pajak dan retribusi daerah.

Sebelumnya, Perry mengatakan pihaknya telah meluncurkan buku putih atau white paper pengembangan rupiah digital Indonesia atau Central Bank Digital Currency (CBDC) yang dinamakan Proyek Garuda. Dengan ini, Indonesia akan memiliki rupiah digital.

Dikutip dari Voice of America, Perry menjelaskan perbedaan uang rupiah yang saat ini telah beredar di masyarakat dengan rupiah digital. Pada prinsipnya keduanya adalah hal yang sama, yakni alat pembayaran yang sah di Indonesia.

"Bedanya yang ini adalah bentuknya uang kertas, yang itu bentuknya adalah digital. Dalam digital rupiah ada NKRI juga. Fitur-fitur yang ada di uang kertas juga ada dalam digital rupiah. Bedanya, kalau di dalam digital rupiah semuanya enkripsi dalam digital-digital, coding-coding. Coding-nya dienkripsi, yang tahu cuma BI," ungkap Perry dalam acara Meniti Jalan Menuju Rupiah Digital, di Jakarta.

Ketika nanti rupiah digital ini resmi beredar, ujar Perry, maka Indonesia akan memiliki tiga jenis alat pembayaran yang sah, yakni rupiah digital, uang rupiah fisik, yakni kertas dan koin serta alat pembayaran dengan menggunakan kartu debit berbasis rekening.

Sebagai salah satu alat pembayaran yang sah, kata Perry, rupiah digital ini nantinya bisa digunakan oleh masyarakat untuk melakukan berbagai transaksi kebutuhan sehari-hari, termasuk untuk membeli barang di metaverse.

"Rupiah digital bisa untuk beli rumah, mobil dengan transaksi digital. Untuk membeli barang yang di metaverse juga bisa, itu bedanya kalau yang ini (uang kertas) gak bisa untuk beli di metaverse, karena metaverse judulnya digital. Kalau alat pembayaran digital rupiah bisa dalam metaverse. Itulah yang disebut alat pembayaran digital yang sah yang istilahnya medium of exchange," paparnya.

Perry mengatakan sebagai bank sentral, BI ingin melayani masyarakat dengan lebih baik. Dengan 60 persen populasi penduduk Indonesia yang berasal dari kalangan milennial maka digitalisasi di bidang keuangan harus terus dilakukan oleh pihak regulator.

"Tapi di Indonesia yang kurang lebih 60 persen termasuk kaum milenial, anak cucu kita itu memerlukan alat pembayaran digital. Jadi alasan yang kedua BI sebagai Bank Sentral satu-satunya di Indonesia ingin melayani masyarakat yang membutuhkan. Alat pembayaran uang cash kita siapkan, yang masih melakukan pembayaran berbasis kartu kita siapkan, ada anak-anak yang milenial yang memerlukan alat pembayaran digital yang sah kita keluarkan digital rupiah," jelasnya.

Baca Juga: