Penting untuk melihat AI sebagai alat yang bisa mendukung upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

M. Irfan Dwi Putra, Universitas Gadjah Mada

Diskusi mengenai kecerdasan buatan (AI) dalam konteks lingkungan lebih banyak terfokus pada potensi dampak ekologisnya, terutama akibat konsumsi energi yang tinggi dalam pelatihan model AI berskala besar.

Namun, penting juga untuk melihat AI sebagai alat yang bisa mendukung upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. AI pun dapat berperan membuka peluang baru untuk penerapan teknologi yang lebih berkelanjutan.

Peran AI dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim semakin relevan, terlebih dengan pengangkatan topik ini dalam Conference of the Parties 28 (COP 28)-pertemuan tahunan peserta Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim atau UNFCCC di Dubai tahun lalu. Untuk pertama kalinya, AI diusulkan sebagai salah satu solusi untuk memerangi pemanasan global.

AI dalam mitigasi perubahan iklim

Mitigasi perubahan iklim mencakup berbagai upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca serta meningkatkan kapasitas penyerapannya dari atmosfer. Tujuan utama dari upaya ini adalah mencapai net zero emissions, yaitu kondisi di mana jumlah emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer seimbang dengan jumlah yang diserap kembali, sehingga mencapai titik impas emisi (net zero). AI memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam mencapai tujuan ini.

Di sektor energi-sumber emisi gas rumah kaca terbesar-AI dapat kita gunakan untuk mengoptimalkan konsumsi energi. Misalnya, melalui pengintegrasian AI ke dalam smart grid atau jaringan listrik pintar. Ini memungkinkan AI untuk menganalisis kebutuhan energi secara real-time, menyesuaikan pasokan, dan mengatur distribusi secara efisien.

Pemerintah Kota Shenzhen di Cina adalah salah satu wilayah yang telah memanfaatkan AI untuk mengatur distribusi listrik sekaligus mengelola penyimpanan energi. Alhasil, konsumsi energi per unit GDP (Produk Domestik Bruto) kota tersebut turun menjadi hanya sepertiga dari rata-rata nasional, menjadikannya kota dengan konsumsi energi per unit GDP terendah di Cina.

Di sektor kehutanan, AI dapat membantu pemantauan laju deforestasi melalui analisis citra satelit, pemrosesan data dengan cepat dan akurat untuk mendeteksi perubahan tutupan hutan. AI juga dapat mendeteksi kebakaran hutan berdasarkan analisis sensorik terhadap titik panas di wilayah hutan.

Proyek Guacamaya di Kolombia adalah salah satu contoh nyata. Dalam proyek ini, AI memproses data citra satelit, rekaman bioakustik, dan data kamera tersembunyi untuk memberikan gambaran real-time kondisi hutan Amazon Kolombia. Teknologi ini sangat membantu para pengambil keputusan negara tersebut dalam mengatasi deforestasi.

Sementara itu, di sektor pertanian, sebagai sektor penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar kedua, AI dapat membantu petani menggunakan pupuk, herbisida, dan pestisida dengan lebih bijak. Misalnya, melalui analisis data jenis tanaman, tanah, dan cuaca, AI dapat mengurangi pemakaian pupuk dan pestisida yang berlebihan. Ini memungkinkan sektor pertanian untuk menekan emisi dinitrogen oksida-bahan kimia dalam pupuk-gas rumah kaca yang berkali-kali lipat lebih kuat dari karbon dioksida.

Program Saagu Baagu di Telangana, India, menunjukkan dampak positif dari AI ini, dengan penurunan pestisida sebesar 9% dan penurunan penggunaan pupuk sekitar 5%. Tidak hanya itu, hasil panen petani juga terbukti ikut meningkat hingga 21% per hektare.

AI dalam adaptasi perubahan iklim

Perubahan iklim semakin parah dan bisa dengan jelas kita rasakan melalui cuaca ekstrem dan intensitas bencana alam yang meningkat. Dalam menghadapi kenyataan ini, adaptasi menjadi langkah penting.

AI dapat berkontribusi di sini, terutama dalam sistem prediksi dan peringatan dini bencana.

Misalnya, beberapa model AI seperti convolutional neural networks (CNN) mampu menganalisis data meteorologis untuk memprediksi banjir, memberikan informasi berharga kepada masyarakat dan pemerintah untuk mempersiapkan diri lebih baik.

Selain memprediksi bencana, AI juga bisa dipadukan ke dalam sistem peringatan dini. Dengan kemampuan analisis data real-time secara cepat, AI mampu mendeteksi anomali kondisi di lapangan dalam hitungan detik. Setelah mendeteksi kejanggalan, sistem AI akan menilai apakah ada situasi tanda awal bencana, yang kemudian diterjemahkan menjadi peringatan dini.

Taiwan, salah satu wilayah yang menghadapi intensifikasi siklon tropis akibat perubahan iklim telah memanfaatkan AI untuk lebih siap menghadapi fenomena ini. Pada Juli lalu, teknologi AI berhasil memprediksi dengan akurat pola dan dampak dari Topan Gaemi, delapan hari sebelum topan tersebut mencapai daratan. Dengan prediksi ini, masyarakat dan pemerintah Taiwan dapat mempersiapkan diri lebih baik, mengurangi risiko bencana secara signifikan.

Inisiatif global memanfaatkan AI untuk aksi iklim

Potensi besar pemanfaatan AI dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim kini semakin mendapat perhatian dari kelompok kerja global untuk perubahan iklim. Dalam COP-28, para peserta menyepakati keputusan untuk meningkatkan pengembangan dan transfer teknologi yang diperlukan dalam menghadapi perubahan iklim melalui suatu sistem yang disebut Mekanisme Teknologi.

Mekanisme ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas negara-negara, terutama negara berkembang, dalam mengadopsi teknologi yang ramah lingkungan dan efisien untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Salah satu hal penting yang dibahas dalam keputusan ini adalah dorongan untuk menerapkan solusi perubahan iklim berbasis AI.

Dalam COP-28, para pihak juga mendukung pelaksanaan Initiative on Artificial Intelligence for Climate Action (AI4ClimateAction), sebuah inisiatif dari Technology Executive Committee dan Climate Technology Centre and Network-dua badan yang bertanggung jawab dalam Mekanisme Teknologi UNFCCC. Inisiatif ini dirilis pada Juni 2023 sebagai upaya untuk mempercepat pemanfaatan AI dalam aksi iklim global.

Saat ini, langkah konkret dari inisiatif tersebut telah dituangkan dalam Workplan for the Technology Mechanism Initiative on AI for Climate Action (2024-2027).

Beberapa poin utama dalam rencana kerja ini meliputi peningkatan kapasitas negara-negara dalam menggunakan AI untuk aksi iklim, pemberian bantuan teknis kepada negara berkembang, dan pembentukan kerangka kemitraan sektor publik dan privat. Rencana kerja ini diharapkan menjadi panduan bagi pemanfaatan AI dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim secara global di masa mendatang.

AI untuk aksi iklim Indonesia

Sebagai anggota UNFCCC sekaligus salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, Indonesia perlu memanfaatkan teknologi ini untuk mendukung aksi-aksi iklim.

AI berpotensi besar dalam menekan emisi di sektor energi, melindungi hutan Kalimantan sebagai salah satu penyerap karbon terbesar di dunia, serta mendorong praktik pertanian pintar dan presisi. Teknologi ini dapat berperan penting dalam membantu Indonesia mencapai target Net Zero Emissions pada 2060 atau lebih cepat.

Namun, ada sejumlah tantangan yang perlu kita perhatikan. Pertama, Indonesia perlu memiliki regulasi AI yang jelas agar penggunaannya berlangsung secara etis, berkelanjutan, dan bertanggung jawab.

Kedua, penting bagi Indonesia memiliki basis data yang berkualitas guna menghasilkan hasil analisis yang akurat.

Ketiga, Indonesia juga memerlukan talenta-talenta digital yang mumpuni untuk mengoperasikan teknologi ini.

Di tengah dampak perubahan iklim yang semakin nyata, AI menawarkan solusi inovatif untuk menyelamatkan masa depan bumi dan manusia. Berbekal kemampuannya dalam menganalisis data, AI dapat membantu menurunkan emisi secara signifikan dan memperkuat ketahanan masyarakat menghadapi dampak perubahan iklim.

Namun, keberhasilan pemanfaatan AI untuk iklim bergantung pada tata kelola yang baik. Memastikan teknologi ini berkelanjutan, ramah lingkungan, dan etis adalah kunci untuk memaksimalkan dampak positif AI.

Dengan pendekatan yang tepat, AI bisa menjadi alat penting dalam upaya kolektif untuk mempertahankan masa depan Bumi dan seluruh penghuninya.The Conversation

M. Irfan Dwi Putra, Junior Researcher at Center for Digital Society (CfDS), Universitas Gadjah Mada

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Baca Juga: