Huruf yang digambar dalam berbagai polesan mengandung arti seribu makna. Hal itu menggelitik Komunitas Depok Letters. Lalu mereka mengembangkan seni huruf sebagai hobi hingga ranah komersial.

Selain sebagai alat perangkai kata maupun kalimat, huruf dapat memiliki banyak makna. Contohnya, hurufhuruf yang menjadi logo-logo sebuah merek makanan, pakaian maupun berbagai barang komersial lainnya.

Huruf dalam ukuran tertentu menjadi identitas sebuah merek dagang. Hanya dengan melihat huruf, masyarakat bisa langsung mengingat produk yang tengah ditawarkan. Itulah hebatnya sebuah seni huruf. Satu goresan mampu memiliki nilai persuasi.

Reza Kurnia, 25, anggota Depok Letters mengatakan untuk membuat huruf sebagai seni, ia membutuhkan riset kurang lebih selama sebulan.

Riset dilakukan untuk melihat referensi-referensi berbagai macam huruf. Tujuannya tidak lain, supaya huruf yang akan dibuat memiliki kandungan nilai yang sama dengan produk maupun memiliki daya tarik.

"Jadi kalau yang tahu, membuat huruf (seni huruf) itu tidak mudah," ujar dia yang ditemui di daerah Depok, Jawa Barat, bersama dua rekannya M Halim Abror (23) dan Rhinaldy Rahadian, 24, Senin (1/10). Karena itu, banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa huruf-huruf yang terpampang bersama merek produk sekedar goresan huruf semata.

Umumnya, masyarakat baru menyadari bahwa pembuatan seni huruf tidak mudah ketika mereka mengikuti proses pembuatannya. Seperti saat Reza membuat mural di daerah Bekasi. Mereka baru memahami bahwa proses pembuatan huruf indah membutuhkan proses yang lumayan panjang.

Huruf sebagai bagian seni telah menjadi bagian merek dagang. Huruf bisa berdiri sendiri maupun terangkat menjadi kata bahkan kalimat. Huruf menjadi goresan bermakna untuk sebuah kaus.

Berbagai kaus menggunakan huruf maupun kalimat sebagai penguat identitas. Terlebih di tahun politik seperti saat ini, huruf menjadi kampanye untuk menyampaikan suatu maksud.

Depok Letters mengembangkan kegemaran seni huruf sebagai sebuah hobi. Bersamasama, mereka saling bertukar pikiran dalam pertemuan yang digelar setiap bulan di sejumlah cafe di kawasan Depok, Jawa Barat.

"Karena, kami belum memiliki base camp," ujar Rhinaldy Rahadian yang biasa disapa Aldy, pengurus komunitas, memberikan alasan. Bahkan, mereka kerap diundang sebuah café untuk meramaikan keberadaan café tersebut. Sebagai imbalannya, mereka mendapatkan potongan harga untuk pembelian minuman.

Setiap berkumpul, para anggota saling membagi informasi pengetahuan lettering atau seni huruf. Beruntung beberapa anggota, seperti Reza, Rhinaldy dan Halim yang biasa disapa Abong tengah menempuh pendidikan di bidang Desain Komunikasi Visual.

Pengetahuannya dapat menjadi bekal mengembangkan pembuatan seni huruf sekaligus berbagai dengan teman-teman komunitas. Kurang lebih, sebanyak 20 anggota berkumpul bersama untuk berbagi informasi tentang lettering yang memiliki beragam teknik sampai unjuk kemampuan.

Biasanya, mereka bertemu dari sore hingga café tutup. "Tapi kalau sudah jam 9 malam, biasanya kami ngobrol santai," ujar Aldy.

Depok Letters berdiri pada 2015. Pada 2016, komunitas ini sempat vakum karena kurangnya pengelolaan. Baru pada 2017, Aldy menumbuhkan kembali komunitas sembari membuat akun komunitas di Instagram. Cara tersebut cukup ampuh untuk menjaring para peminat lettering.

Selain sebagai hobi, beberapa anggota mulai merambah dunia komersial. Soal harga jasa yang diberikan, mereka mengaku bahwa masing-masing memiliki warung sendiri-sendiri.

Dengan kata lain, setiap orang memiliki harga yang berbeda satu dengan lainnya. Namun untuk karya yang paling murah dibanderol senilai 300-500 ribu rupiah. Sedangkan proyek event off air bisa mencapai 12 juta rupiah. Berangkat dari hobi, ranah komersial pun terbentang luas.

Memadukan Nilai Seni dan Ekspresi Diri

Karya selalu bersifat individual. Rasa itulah yang diekspresikan para seniman gambar huruf di komunitas Depok Letters. Karakter mereka terangkum dalam goresan hurufhuruf sebagai buah karya seni.

M Halim Abror, 23, mengaku paling senang menulis huruf menjadi serangkaian kalimat. "Tidak panjang sih, paling tiga kata," ujar laki-laki yang biasa disapa Abong ini. Bagi dia, huruf akan lebih bermakna kalau disusun menjadi sebuah kalimat.

Abong mengakui bahwa untuk membuat kalimat bukan hal yang mudah. Meski begitu, ia tidak melakukan riset khusus. Kalimat-kalimat yang dipilih adalah kalimat keseharian maupun kalimat yang biasa digunakan untuk syair lagu.

"Ya kadang munculnya (kalimat) selintas saja," ujar Mahasiswa Universitas Indraprasta PGRI, Jurusan Desain Komunikasi Visual ini. Bagi dia, lettering merupakan proses lain selain menggambar.

Reza yang satu almamater dengan Abong memiliki pengalaman yang berbeda. Sebagai mahasiswa desain komunikasi visual, dia dituntut untuk dapat menggambar berbagai teknik, salah satunya ilustrasi.

Namun sejak kenal lettering pada 2015, ia lebih banyak menggambar lettering yang dipandang lebih cepat ketimbang ilustrasi. "Karena, tuntutan jaman lebih cepat, apaapa butuh instant," ujar dia memberikan alasan.

Reza lebih memilih menggambar secara manual dibanding proses digital. Bukan karena tidak mampu, melainkan proses manual lebih mampu menampung seluruh kreatifitasnya. "Itu (manual) lebih enak saja, lebih ada feel-nya," ujar dia.

Hampir sama dengan Abong, Reza lebih menyukai gambar dalam bentuk kalimat ketimbang huruf. Bagi, dia kalimat memiliki tujuan yang lebih jelas, seperti We Are Together atau I don't give up. Sedangkan, huruf maknanya terlalu luas. Kalimat-kalimat tersebut dibuat dalam konsep vintage yang disukainya.

Sementara Aldy lebih piawai membuat lettering dalam bentuk huruf sambung. "Karena, gue merasa diapresiasi, kalau yang lain (teknik) belum belajar," ujar dia. Aldy yang sempat tidak disetujui masuk sekolah desain komunikasi visual oleh orang tuanya mengaku tidak dapat menghitung karya yang pernah dibuatnya.

Pasalnya, setiap karya membutuhkan proses trial and error yang bisa menghabiskan kertas satu rim. Bagi dia, semua gambar yang pernah dibuatnya termasuk gambar-gambar yang error merupakan karyanya yang terbaik.

Rasa dalam Karya: Amati, Tiru, dan Modifikasi

Karya tidak pernah memiliki batas. Namun secara tidak langsung, Depok Letters lebih banyak membuat karya-karya yang bermakna positif ketimbang negatif. Hal tersebut tidak lain, supaya hasil karya tidak menyakiti orang lain.

Reza mengatakan bahwa kata maupun kalimat para anggota Depok Letter lebih banyak bersifat membangun. "Rata-rata, kata maupun kalimatnya motivasi saja sih," ujar dia. Kalimat motivasi lebih bersifat mengajak atau membangun. "Kalau kalimat kritis, nanti ada yang tersakiti atau ada yang tersinggung," ujar dia.

Selama ini, ia dan temantemannya lebih hati-hati untuk menggunakan kata maupun kalimat yang bersifat kritis. Bukan karena takut, namun mereka lebih ingin membuat karya yang memberikan dampak positif untuk penikmatnya.

Meski begitu. Suatu kali, ia ingin keluar dari zona nyaman dengan membuat karya yang lebih kritis. "Hanya untuk sekarang lebih nyaman dengan yang bersifat motivasi," ujar dia.

Memaknai karya secara positif tidak sebatas membuat karya. Namun, karya menjadi pelepas stres. Saat kondisi hati tengah gundah gulana, Aldy justru memanfaatkan kegiatan lettering sebagai pelepas stres.

"Kita nggak ngomong tapi disalurkan saja dengan menuliskan satu kata, misalnya down," ujar dia. Dengan cara seperti itu, streslamat laut akan mereda dengan sendirinya.

Berbeda dengan masyarakat umum yang acapkali menggunakan kegiatan menggambar atau mewarnai sebagai pereda stres. Para seniman lettering tidak selamanya menggunakan medium gambar sebagai pereda stres.

"Kalau sedang stres menggambar terus menggambar malah jadi stres," ujar dia. Sebagai profesi, proses menggambar tidak sekedar coret melainkan ada konsep dan visual yang ingin disampaikan.

Bagi para anggota Depok Letter menggambar bukan proses sederhana. Ada langkah yang kerap mereka sebut ATM, yaitu amati, tiru, dan modifikasi.

Dalam membuat karya, mereka kerap meniru dari berbagai referensi. Namun, karya dicontoh seratur persen melainkan dimodifikasi dengan pengetahuan yang dimiliki. Dengan begitu, mereka akan selalu memiliki referensi tanpa khawatir kehilangan ide.

din/E-6

Baca Juga: