Komitmen terhadap perubahan iklim dengan ­meninggalkan energi kotor agar ­pemansan global ­tidak lebih1,5 dari persen ­hendaknya bukan hanya wacana, ­tetapi benar-benar ­dilaksanakan dan ­dimulai.

Perjanjian Paris 2015 menargetkan untuk menjaga pemanasan global tidak lebih dari 1,5 derajat celsius. Tapi sayangnya dalam COP26 di Glasgow awal bulan ini kurang tegas memutuskan perihal berakhirnya penggunaan batu bara sebagai salah satu penyumbang terbesar emisi karbon. COP26 hanya menyebutkan penurunan secara bertahap penggunaan batu bara, bukan menghapus.
Alasannya, penggantian kata menghapus menjadi menurunkan secara bertahap diperlukan karena itu mencerminkan keadaan nasional negara-negara sedang berkembang. Dan juga sebagai upaya untuk membuat konsensus yang masuk akal untuk keadilan iklim.
Indonesia sebagai penandatangan Perjanjian Paris 2015 dan juga aktif dalam COP26, komit untuk mengurangi emisi karbon. Bahkan, sebagai Presidensi G20 tahun ini, Indonesia akan membawa isu pengurangan emisi karbon dalam G20. Tujuannya agar bisa berkolaborasi dan bekerja sama dengan negara lain seperti dalam penanganan pandemi Covid-19.
Perubahan iklim tidak dapat ditanggulangi oleh negara manapun sekalipun negara besar dan negara maju. Indonesia memang sudah memiliki kontribusi namun hal ini tidak dapat dicapai sendiri, butuh dukungan dari komunitas global baik dalam bentuk pembiayaan maupun teknologi serta pengetahuan.
Indonesia pada forum global telah memperkenalkan pajak karbon, pasar karbon serta menjaga hutan agar dapat memenuhi komitmen untuk mencapai target Net Zero. Menurutnya, emisi karbon, akan menjadi sangat menantang pada pertengahan abad ini sehingga diperlukan desain alur untuk menurunkan emisi karbon.
Pemikiran-pemikiran dan usulan Indonesia sangat bagus dan signifikan dalam upaya mengurangi pemanasan global. Namun akan lebih afdol jika pelaksanaannya juga sama bagusnya.
Presiden Joko Widodo saat memberi pengarahhan kepada jajaran manajemen PLN dan Pertamina belum lama ini menegaskan meminta dua perusahaan pelat merah yang masih mengandalkan energi fosil, yaitu PLN dan Pertamina, beralih perlahan ke energi terbarukan.
Kedua BUMN itu diminta menyiapkan rencana peralihan bertahap setiap tahun. Jika tidak memiliki rencana, impor minyak mentah Pertamina makin besar dan mempengaruhi neraca pembayaran.
Kalau rencana peralihani tidak bisa diselesaikan, sampai kapanpun neraca pembayaran kita enggak akan beres, ini logika yang semua kita harus ngerti hitung-hitungannya.
"Goal besarnya adalah negara ini memperoleh keuntungan dalam bentuk neraca pembayaran kita yang sudah berpuluh-puluh tahun kita tidak bisa selesaikan. Problemnya impor minyak terlalu besar dan itu mempengaruhi currency kita," kata Presiden Joko Widodo.
Kalau Indonesia bisa mengalihkan itu ke energi yang lain, misalnya mobil diganti listrik semuanya, gas rumah tangga diganti listrik semuanya karena di PLN oversupply maka pasokan dari PLN terserap dan impor di Pertamina menjadi turun. Tentu saja listriknya bukan menggunakan energi fosil, tetapi menggunakan energi baru terbarukan (EBT).
Komitmen untuk menjaga pemanasan global dengan meninggalkan energi kotor agar pemansan global tidak lebih1,5 dari persen hendaknya bukan hanya wacana, tetapi benar-benar dilaksanakan dan dimulai. Pasalnya sampai saat ini, suplai energi di Indonesia masih didominasi oleh batu bara dengan porsi 67 persen, kemudian diikuti oleh minyak sebesar 15 persen, dan gas sebesar 8 persen.

Baca Juga: