» Komunitas internasional sepakat mengunci aliran bantuan agar dunia serius mengatasi perubahan iklim.

» Indonesia dipandang strategis bagi dunia untuk pengendalian iklim global, karena termasuk salah satu paru-paru penting dunia.

JAKARTA - Puluhan lembaga global yang bergerak dalam bidang sosial kemanusiaan menyatakan komitmennya untuk membantu Indonesia mengatasi dampak perubahan iklim dan upaya memajukan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Komitmen lembaga global itu diungkapkan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marinves), Luhut Binsar Pandjaitan, setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima surat dari Bill Gates dan Rockefeller Foundation.

Menurut Luhut, sebanyak 40 perusahaan hingga tokoh dunia meminta Presiden Jokowi menghadiri pertemuan di Bali pada April 2022. Pertemuan itu akan membahas sejumlah isu yang berkaitan dengan ekonomi UMKM.

"Saya bingung, tiba-tiba ada sekian puluh foundation dunia yang besar-besar, sebut saja Rockefeller, sebut saja Bill Gates, semua menulis surat ke Presiden. Mereka ingin berkumpul di Bali nanti bulan April untuk membantu Indonesia dalam bidang climate change," kata Luhut dalam sambutan peluncuran Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia, di Jambi, Rabu (19/1), yang dipantau secara daring.

Sejumlah perusahaan, papar Luhut, telah berinisiasi membahas sejumlah kemajuan bisnis dan mendorong UMKM Indonesia.

"Juga UMKM, jadi Presiden bilang kepada saya, kenapa bisa datang tadi malam. Kata saya tidak tahu Pak, tapi mereka minta izin apakah Presiden nanti bersedia untuk bertemu mereka. Kata Pak Jokowi, 'Ini kalau ada UMKM, saya bersedia Pak Luhut, mau sehari-dua hari'," kata Luhut.

Percepat Transisi

Peneliti Ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamudin Daeng, menegaskan pemerintah harus serius merespons desakan global mengatasi perubahan iklim. Terpilihnya Indonesia sebagai Presidensi G20 pada tahun ini harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk mempercepat transisi energi, dari energi kotor ke energi bersih.

Indonesia yang kaya sumber daya energi hijau, tentu yang diharapkan ialah bagaimana mendorong pemanfaatan energi bersih di sektor kelistrikan.

"Sebagai tuan rumah, RI memilik tanggung jawab moral untuk meningkatkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) yang masih rendah," tegas Daeng.

Prancis, katanya, pernah punya pengalaman serupa saat jadi tuan rumah Paris Agreement 2015 lalu. Mereka melakukan banyak perubahan di negaranya untuk mengendalikan perubahan iklim.

Kalau di Paris, negara-negara sepakat mengurangi emisi karbon. Maka di COP26, lembaga-lembaga pendonor internasional menghentikan bantuan pendanaan bagi proyek proyek energi kotor. Komunitas internasional sepakat mengunci aliran bantuan agar dunia serius mengatasi perubahan iklim.

Kesepakatan komunitas internasional ini bukan hanya mengikat negara, tetapi juga para pelaku usaha yang bermain di energi kotor semisal batu bara. Jika dilanggar itu akan memberi efek berganda terhadap rantai bisnis mereka.

"Kita tidak bisa melawan, mau tidak mau harus mengikutinya. Komunitas internasional itu bukan sembarangan. Mereka yang punya uang, mereka sangat menyadari dampak perubahan iklim dari aktivitas yang merusak lingkungan," tegas Daeng.

Sementara itu, Pengamat Politik dan Sosial, sekaligus peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC), Surokim Abdussalam, mengatakan dukungan global itu sebagai pintu masuk mempersuasi Indonesia agar lebih proaktif dan progresif melaksanakan kesepakatan pengendalian iklim global.

"Indonesia kan dipandang strategis bagi dunia untuk pengendalian iklim global, karena termasuk salah satu paru-paru penting dunia. Jadi, masyarakat internasional tentu berkepentingan menjaga, memelihara, serta mendapatkan komitmen Indonesia untuk melaksanakan policy lingkungan hijau dan pengendalian iklim global berkelanjutan," kata Surokim.

Mereka juga paham posisi Indonesia yang belum signifikan menjaga dunia hijau dan pengendalian iklim global. Nah, kok mendadak dan kompak banget? Ada apa? Tentu ini juga menjadi pertanyaan serius, jangan-jangan Indonesia dianggap belum patuh pada komitmen masyarakat internasional sehingga harus progresif untuk pengendalian perubahan iklim global.

Baca Juga: