YANGON - Para pengunjuk rasa antijunta pada Minggu (13/6) membanjiri media sosial di Myanmar dengan foto-foto diri mereka mengenakan pakaian hitam untuk menunjukkan solidaritas pada warga Rohingya, sebuah kelompok minoritas yang termasuk di antara yang paling teraniaya di negara itu.

Sejak militer menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dari kekuasaan dalam kudeta 1 Februari, gerakan antijunta yang menuntut kembalinya demokrasi kini telah mengembangkan aksi mereka termasuk memperjuangkan hak-hak etnis minoritas.

Rohingya yang sebagian besar warga Muslim, sejak lama dipandang sebagai pendatang gelap dari Bangladesh oleh banyak warga di Myanmar dan mereka ditolak mendapatkan kewarganegaraan, hak, akses ke layanan dan kebebasan bergerak.

Para aktivis dan warga sipil menyerbu media sosial dengan memposting foto diri mereka mengenakan pakaian hitam dan mengacungkan salam perlawanan jari perlawanan pada posting tagar "Black4Rohingya".

"Keadilan harus ditegakkan untuk Anda semua dan kami kami di Myanmar," tulis aktivis hak asasi terkemuka Thinzar Shunlei Yi di media sosial Twitter.

Media lokal juga melaporkan terjadinya protes kecil di Yangon dimana terlihat para demonstran berpakaian hitam memegang spanduk bertuliskan simpati dan memprotes warga Rohingya yang tertindas.

Hingga Minggu malam, tagar Black4Rohingya pun jadi trending topics Twitter di Myanmar dan telah diikutisebanyak lebih dari 332.000 pendukung.

Peristiwa Langka

Dukungan terhadap warga Rohingya oleh penduduk Myanmar merupakan sebuah kejadian amat langka, apalagi setelah terjadi kampanye penumpasan berdarah oleh pasukan militer pada 2017 yang mengakibatkan sekitar 740.000 orang Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh sambil membawa laporan terjadinya tindak kejahatan pemerkosaan, pembunuhan massal, dan pembakaran.

Sejauh ini pihak militer mengklaim aksi penumpasan itu sebagai upaya untuk membasmi pemberontak dan Suu Kyi juga membela tindakan tentara dengan melakukan perjalanan ke Den Haag untuk membantah tuduhan genosida di pengadilan tinggi PBB.

Publik Myanmar saat itu sebagian besar tidak simpatik dengan penderitaan Rohingya, sementara para aktivis dan jurnalis yang melaporkan masalah tersebut menghadapi pelecehan pedas secara daring.

Menanggapi terjadinya perubahan arus di Myanmar, aktivis Rohingya terkemuka yang berbasis di Eropa, Ro Nay San Lwin, mengatakan kampanye daring itu adalah yang pertama kalinya ia saksikan menjadi sangat viral di Myanmar.

"Saya sangat senang melihat orang-orang di dalam Myanmar bergabung dengan kampanye ini. Saya lebih berharap memiliki solidaritas yang lebih kuat dari mereka," kata dia.

Aksi simpatik dari gerakan antijunta terjadi setelah pemerintah tandingan Myanmar pun menyatakan sikap untuk berdamai dengan kelompok-kelompok minoritas dan turut mengundang mereka untuk melakukan revolusi untuk menumbangkan junta. AFP/I-1

Baca Juga: