JAKARTA - Industri perkebunan khususnya kelapa sawit masih harus menghadapi berbagai tantangan pada 2024. Dari sisi ekonomi global, ketidakpastian masih membayangi pertumbuhan ekonomi global khususnya negara-negara maju.

Amerika Serikat (AS) masih dilanda inflasi yang diatas target, Tiongkok sebagai salah satu konsumen terbesar minyak sawit juga masih bergulat dengan pelemahan ekonomi pasca Covid-19, begitupula dengan Eropa yang mana kondisi ekonominya melemah dengan defisit fiskal yang meningkat diiringi inflasi yang masih tinggi.

Kemudian, di saat eskalasi Laut Hitam yang belum mereda akibat perang Russia dan Ukraina yang juga memberikan dampak besar pada pasokan beberapa komoditas strategis di pasar global, kini dunia juga harus menghadapi eskalasi geopolitik di laut merah akibat perang Israel dan Palestina yang juga diestimasi dapat memberikan dampak besar terhadap pasokan komoditas mengingat laut merah merupakan jalur strategis perdagangan global.

"Kami memperkirakan prospek industri sawit pada 2024 mempunyai kecenderungan sebagai berikut, konsumsi dalam negeri diperkirakan akan mengalami kenaikan, terutama untuk kebutuhan pangan, industri oleokimia dan kebutuhan energi (biodiesel) dengan adanya implementasi Biodiesel (B35) secara setahun penuh (Fully Implemented)," ungkap Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono dalam konferensi persnya di Jakarta, Selasa (27/2).

Lalu, harga minyak nabati dunia termasuk minyak kelapa sawit tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan dengan 2023. Kemudian, produksi diperkirakan akan stagnan.

"Volume ekspor diperkirakan akan mengalami penurunan, terutama karena meningkatnya kebutuhan untuk dalam negeri," papar Eddy.

Untuk memastikan peningkatan produksi dan menjamin dipenuhinya kebutuhan minyak sawit dalam negeri dan ekspor, maka beberapa upaya perlu dilakukan, penyelesaian perkebunan sawit yang teridentifikasi masuk Kawasan hutan. GAPKI terus mengusulkan bahwa bagi kebun sawit yang sudah memeiliki alas hak baik itu SHM maupun setrtifikat HGU semestinya sudah bukan Kawasan Hutan lagi.

Penyelesaian pasal 110 B jangan sampai menyebabkan pengurangan areal yang signifikan, akan berdampak kepada pengurangan produksin sawit.

Lalu, memastikan program PSR dapat berjalan sesuai dengan targetnya (target 180.000 ha/ tahun). Hambatan yang masih ada harus dapat di selesaikan.

Peraturan yang tumpang tindih perlu segera diselesaikan, khsususnya peraturan terkait kewajiban FPKM 20%, karena masih menimbulkan kekisruhan di lapangan. Untuk jangka panjang, perlu dipertimbangkan kemungkinan dibangun kebun sawit untuk energi (dedicated area) khususnya pada kawasan yang sudah terdegradasi, sehingga kebutuhan minyak sawit untuk energi tidak menganggu kebutuhan untuk pangan, industri dalam negeri dan ekspor.

Adapun tahun lalu, Produksi crude palm oil (CPO) pada 2023 diperkirakan mencapai 50,07 juta ton atau naik sebesar 7,15% dari 2022 yakni sebesar 46,73 juta ton. Sementara itu, produksi PKO mencapai 4,77 juta ton atau naik 5,66% dari tahun sebelumnya (2022) yakni sebesar 4,52 juta ton.

Kenaikan produksi dari 2022 ini kemungkinan disebabkan oleh berbagai hal, antara lain harga minyak sawit menjelang akhir 2021 dan sepanjang 2022 relatif tinggi, sehingga mendorong pelaku usaha untuk mengelola kebunnya dengan baik, termasuk pemberian pupuk, kedua adanya perluasan areal tertanam menghasilkan pada 2023.

Hal ini sesuai dengan data Kementerian Pertanian yang menyebutkan dalam periode 2017-2020 ada kenaikan luas tanaman sekitar 2017-2020 sebesar 540 ribu hektar dan memperkirakan di tahun 2023 saja akan penambahan terjadi areal TM seluas 260 ribu hektar dari 12,342 juta hektar pada 2022 menjadi 12,602 juta hektar pada 2023.

Ketiga, El Nino yang diperkirakan akan melanda Indonesia, ternyata tidak berpengaruh terhadap produksi tanaman, karena melanda di sebagain besar Indonesia bagian selatan dan konsumsi dalam negeri menunjukkan kenaikan dari 21,24 juta ton pada 2022 menjadi 23,13 juta ton atau kenaikan sekitar 8,90%.

Implementasi kebijakan Biodiesel (B35) yang secara efektif dilakukan pada Juli 2022 meningkatkan konsumsi minyak sawit sebesar 17,68% yakni dari 9,048 juta ton pada 2022 menjadi 10,65 juta ton pada 2023.

"Dengan diimplementasikannya B35, konsumsi biodiesel selama 2023 telah mencapai 10,30 juta ton dan telah melampaui konsumsi untuk pangan dalam negeri,"ungkap Direktur Eksekutif GAPKI

Ekspor produk CPO dan PKO mengalami penurunan 2,38% dari 33,15 juta ton pada 2022 menjadi 32,21 juta ton pada 2023. Sementara itu ekspor untuk biodiesel dan oleokimia mengalami kenaikan masing -masing sebesar 29 ribu ton dan 395 ribu ton.

Penurunan ekspor yang besar terjadi untuk tujuan EU yakni sebesar 11,6%% dari 4,13 juta ton pada 2022 menjadi 3,70 juta ton pada 2023. Sebaliknya ekspor untuk tujuan Afrika naik sebesar 33% dari 3.183 ribu ton menjadi 4232 ribu ton.

"China naik 23% dari 6.280 ribu ton menjadi 7.736 ribu ton, India naik 8% dari 5.536 ribu ton menjadi 5.966 ribu ton dan USA naik 10% dari 2.276 ribu ton menjadi 2.512 ribu ton," sebut Eddy.

Turunnya harga rata-rata kelapa sawit selama 2023 dibanding 2023 di pasar Ciff Rotterdam sebesar 28,7%, dimana rata-rata harga pada 2023 adalah 964 USD/ton atau jauh lebih rendah dibanding tahun sebelumnya dengan rata-rata 1.352 USD/ton, menyebabkan penurunan nilai ekspor kelapa sawit Indoensia yang cukup signifikan dari US$ 39,07 miliar pada 2022 menjadi US$ 30,32 miliar pada 2023. Dengan stok awal 2023 sebesar 3,69 juta ton, stok akhir produk CPO dan PKO Indonesia pada 2023 diperkirakan mencapai 3,14 juta ton.

Baca Juga: