Rusia terkena dampak perang yang dilancarkan pemerintah Presiden Vladimir Putin ke Ukraina. Hal tersebut terlihat dari angka pengangguran di ibu kota negara itu.

Terdapat sejumlah 200.000 orang saat ini menjadi pengangguran baru di Moskow. Data itu diungkap Wali Kota Sergei Sobyanin dalam posting blog Senin (18/4), yang dikutip NPR dari AFP.

Dari data tersebut, rata-rata karyawan bekerja di perusahaan asing. Perlu diketahui serangan Rusia ke Ukraina mengakibatkan sejumlah negara menjatuhkan sanksi yang berdampak pada eksodus besar-besaran perusahaan global dari negara itu.

"Menurut perkiraan kami, sekitar 200.000 orang berisiko kehilangan pekerjaan mereka," terangnya.

Namun begitu, otoritas telah menyetujui program senilai 3,36 miliar rubel untuk mendukung pekerja yang berisiko diberhentikan dengan pelatihan dan pekerjaan sementara. Setidaknya sejumlah 58.000 karyawan perusahaan asing yang menjadi target.

Keterangan peneliti Yale School of Management, 750 perusahaan sudah membatasi operasi di Rusia. Dari laporan terbaru perusahaan makanan besar Nestle juga membantasi bisnis karena kritikan Presiden Ukraina Zelensky.

Kemarin, Gubernur Bank Sentral Rusia Elvira Nabiullina mengatakan bahwa cadangan keuangan Kremlin tersebut mulai terganggu. Pada pernyataan persnya kemarin, Nabiullina menyebut sanksi ekonomi negara Barat pasca keputusan Moskow menyerang Ukraina membuat ekonomi Rusia tidak dapat bertahan tanpa batas waktu.

"Masa ekonomi yang bisa hidup dari cadangan memang terbatas dan pada triwulan II dan III kita akan memasuki masa transformasi struktural dan pencarian model bisnis baru," katanya seperti dikutip Reuters.

"Sanksi, terutama mempengaruhi pasar keuangan. Tetapi sekarang mereka akan mulai makin mempengaruhi perekonomian," lanjutnya

Sekarang ini pihaknya sedang menyusun rencana baru yang menargetkan inflasi hingga 4% pada 2024 mendatang. Dirinya pun meminta agar produsen Rusia mulai mencari mitra perdagangan dan juga logistik yang baru.

"Masalah utama akan terkait dengan pembatasan impor dan logistik perdagangan luar negeri dan di masa depan dengan pembatasan ekspor. Eksportir perlu mencari mitra baru dan pengaturan logistik dan semua ini akan memakan waktu," tambahnya lagi.

Dirinya juga menjelaskan bahwa pihaknya sedang menimbang untuk membuat penjualan hasil valas oleh eksportir lebih fleksibel. Pihaknya juga sedang menguji penerbitan rubel digital untuk memungkinkan warga Rusia melakukan transfer antar dompet digital.

"Operasi percontohan yang terkait dengan proyek itu direncanakan pada paruh kedua tahun ini," lanjutnya.

Belakangan, Bank sentral Rusia mendongkrak suku bunga utamanya lebih dari dua kali lipat menjadi 20%. Namun kemudian Moskow memotongnya bulan ini menjadi 17% yang menandai tantangan ekonomi dan perlambatan inflasi.

Baca Juga: