Pemerintah Arab Saudi mengaku pihaknya kecewa setelah mempercayakan perdamaian negara-negara teluk kepada Amerika Serikat (AS), setelah Washington justru menghapus status teroris pemberontak Houthi Yaman.
Pasalnya, Pangeran Turki Al Faisal yang merupakan Mantan Duta Besar Saudi untuk Inggris mengatakan bahwa Houthi masih merupakan ancaman regional yang berbahaya. Houthi bahkan disebut Al Faisal telah membawa ancaman bagi dalam negeri Saudi.
"Saudi menganggap hubungan ini strategis, tetapi mereka kecewa pada saat kami percaya bahwa Amerika Serikat dan Arab Saudi harus bersama dalam menghadapi apa yang kami lihat sebagai ancaman bersama terhadap stabilitas dan keamanan kawasan," ujarnya kepada Arab News awal pekan ini.
Hubungan antara Saudi dan AS juga diketahui semakin merenggang karena isu pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi. Presiden AS Joe Biden bahkan sempat menyebut Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman (MBS) sebagai dalang dibalik pembunuhan tersebut.
Wall Street Journal (WSJ) pekan lalu turut melaporkan hubungan Arab Saudi dan AS telah mencapai titik terendah dalam beberapa dekade.
Tidak hanya itu, WSJ juga melaporkan MBS pernah meneriaki salah seorang jajaran kabinet Biden.
"Putra Mahkota MBS meneriaki penasihat keamanan nasional Jake Sullivan selama pertemuan tahun lalu, ketika pejabat AS membahas pembunuhan kolumnis Jamal Khashoggi," ujar WSJ.
Walaupun begitu, Gedung Putih membantah laporan WSJ. AS dalam laporan Middle East Eye, mengaku tak ada teriakan apa pun saat pertemuan keduanya berlangsung.
Kedutaan Arab Saudi di AS juga mengungkapkan hal senada. Saudi menyebut laporan WSJ bertentangan dengan keadaan di antara kedua negara yang tetap kuat.
"Selama 77 tahun terakhir hubungan Arab Saudi-AS, ada banyak ketidaksepakatan, tetapi itu tidak pernah menghentikan kedua negara untuk menemukan cara bekerja sama untuk mencapai kepentingan terbaik kedua negara," ujar kedutaan.