SURABAYA - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, pada Rabu (9/11), mengatakan, saat ini kasus-kasus Covid-19 dengan gejala berat didominasi oleh penderita yang belum mendapatkan vaksin primer atau booster.

Menkes mengatakan, varian Covid-19 yang saat ini tengah mengalami kenaikan penderita positif adalah Omicron XBB.

"Saya kaget dari gejala berat yang ada ternyata 70 persen belum mendapatkan vaksin booster," katanya usai menghadiri Sidang Dies Natalis Universitas Airlangga (UNAIR) ke-68, di Surabaya Rabu (9/11).

Menurut Budi varian ini merupakan mutasi genetik dari BA.2.10.1 dan BA.2.75. Mutasi genetik sangat umum terjadi pada virus. Hal ini dilakukan virus agar dapat tetap bertahan ini.

"Jadi varian omicron ini ada sub variannya namanya Omicron XBB. Dalam silsilah keluarga Omicron XBB ini cucunya," katanya.

Varian Omicron XBB, lanjut Budi, memiliki berbagai gejala yang dapat dirasakan yaitu demam atau menggigil, batuk, sesak napas, badan lemas, nyeri otot, sakit kepala, kehilangan indera perasa atau penciuman, sakit tenggorokan, pilek, mual atau muntah, hingga diare. Meski keparahan yang terjadi akibat varian ini tidak lebih berat dibanding Varian Omicron namun memiliki penyebaran yang lebih cepat.

Masyarakat diharapkan tetap waspada dan tetap mentaati protokol kesehatan untuk menghadapi varian ini. Selain itu, Menkes juga berperan kepada masyarakat yang belum mendapat vaksin primer atau vaksin sekunder untuk segera mendapatkan vaksin. Meski setelah pemberian vaksin tidak menjamin seseorang terhindar dari paparan virus Covid-19 tapi dengan pemberian vaksin dapat mencegah terjadinya keparahan.

"Hospitalisasi akibat Omicron XBB lebih sedikit dibanding varian sebelumnya. Tapi saran saya tetap pakai masker," pesannya.

"Teman-teman yang belum di-booster segera booster, yang belum vaksin juga cepat vaksin. Bagi yang punya orang tua dan belum mendapat vaksin atau booster segera divaksin atau dapat booster. Kalau sudah divaksin akan mengurangi risiko masuk rumah sakit," tambahnya.

Menkes juga memastikan bahwa stok vaksin di Indonesia tidak mengalami adanya masalah. "Tidak masalah dengan stok yang ada. Kami sudah menyediakan lima juta dosis Pfizer dua minggu lalu," ujarnya.

INAVAC mendapat Izin Penggunaan Darurat

Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh para peneliti UNAIR, INAVAC, mendapatkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) oleh BPOM. EUA dikeluarkan oleh lembaga terkait di suatu negara dalam kondisi gawat darurat yang mengancam kesehatan masyarakat.

"INAVAC telah mendapatkan izin emergency use authorization oleh BPOM dan akan diproduksi secara masal," terang Rektor UNAIR, Mohammad Nasih.

Nasih menjelaskan, dalam proses pembuatan vaksin ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) turut melakukan pendampingan mulai dari tahap uji pra-klinis, tahap uji klinis ke-1 sampai ke-3.

Pengembangan INAVAC dilakukan dengan menggunakan metode inactivated virus. Metode ini menggunakan virus yang telah dimodifikasi atau dinonaktifkan sehingga virus tidak dapat memperbanyak diri dan menyebabkan penyakit.

"Vaksin ini digunakan sebagai pencegahan Covid-19 yang dapat diberikan pada individu usia 18 tahun ke atas," ujarnya.

Nasih turut menyampaikan terima kasih kepada berbagai elemen yang telah mendukung pengembangan vaksin ini.

"Terima kasih kepada kementerian kesehatan karena telah memberikan support berupa pendanaan yang tidak sedikit, pemerintah provinsi juga memberikan dukungan yang luar biasa," ujar dia.

"Rumah Sakit dr. Soetomo juga luar biasa support-nya. Yang tak kalah pentingnya adalah peran peneliti UNAIR yang bekerja keras untuk hal ini," imbuhnya.

Baca Juga: