Senjata biologis merupakan alat utama sistem persenjataan (Alutsista) atau perangkat tempur yang menggunakan unsur-unsur biologis (biasanya patogen) yang digunakan dalam peperangan. Keseluruhan, patogen yang digunakan dalam senjata biologi adalah virus, bakteri, atau parasit penyebab penyakit menular.
Meski begitu, dalam sejarah peperangan atau pertempuran yang pernah dilakukan umat manusia, senjata biologis juga sempat digunakan sebagai alat tempur yang ujung-ujungnya menyebabkan kematian massal. Dari PBB telah mengeluarkan Konvensi Senjata Biologis (BWC) pada 1972 yang berisi pelarangan penggunaan, pengembangan, dan produksi senjata biologis untuk keperluan apa pun.
Kesepakatan itu sudah disepakati oleh 183 negara dan ditandatangani pada beberapa negara adikuasa pemilik persenjataan paling mematikan, termasuk nuklir. Dalam sejarahnya, ada beberapa keterlibatan senjata biologis dalam pertempuran. Apa saja, ya?
Tanaman beracun digunakan sebagai senjata pada era Sebelum Masehi
Penggunaan senjata biologis bahkan sudah dilakukan sejak zaman Sebelum Masehi oleh penguasa Yunani. Federation of American Scientists dalam lamannya mencatat bahwa pada 590 Sebelum Masehi, penguasa kota Athena menggunakan tanaman beracun yang bernama hellebore.
Sari dari tanaman tersebut disebar di sumber air kota untuk melumpuhkan kota-kota di Yunani dari dalam. Dalam dosis yang tak terukur, sari tanaman ini mampu membuat manusia kejang-kejang dan mengalami gagal jantung. Hasilnya, penguasa Yunani kala itu sukses merebut beberapa kota tanpa perlawanan dari musuh.
Kutu dan lalat pernah digunakan oleh pasukan Jepang
Pada Perang Dunia II, pasukan Jepang pernah menggunakan kutu dan lalat yang terpapar dengan kolera sebagai senjata biologis mereka. Pasukan Jepang menjatuhkan kutu dan lalat tersebut ke kota-kota di Tiongkok dan menyebabkan kematian lebih dari 400 ribu orang, seperti diberitakan dalam laman History.
Bahkan, Jepang pernah merencanakan hal yang sama untuk dilakukan di beberapa kota Amerika Serikat, salah satunya di San Diego. Namun, rencana tersebut gagal dieksekusi karena Jepang menyerah setelah Amerika lebih dulu menjatuhkan dua bom atom di Jepang pada 1945.
Pasukan Mongolia menggunakan mayat untuk dijadikan senjata biologis mereka
Melansir Britannica, pada 1347 pasukan Mongolia pernah melontarkan senjata biologis mereka ke benteng musuh, yakni mayat-mayat yang terinfeksi wabah mematikan. Bahkan, beberapa sejarawan meyakini bahwa mayat-mayat pasukan Mongolia yang terinfeksi wabah merupakan cikal bakal munculnya wabah Maut Hitam yang pernah menjangkiti Eropa secara masif.
Cara yang dilakukan oleh pasukan Mongolia tersebut cukup efektif membuat pasukan Eropa ketakutan. Pasalnya, akibat ribuan mayat yang dilontarkan ke markas pasukan Eropa, wabah mulai terjadi dan menular secara cepat. Secara psikologis hal ini akan menghancurkan mental pasukan Eropa yang memang saat itu inferior dibanding pasukan Mongolia.
Nyamuk malaria pernah diteliti oleh Nazi pada Perang Dunia II
Nazi pernah melibatkan senjata biologis mereka berupa nyamuk malaria dalam jumlah masif. Namun, pada saat itu Nazi belum sempat mempraktikkan senjata-senjata tersebut untuk melumpuhkan pihak lawan. National Geographic dalam lamannya mencatat bahwa ilmuwan Nazi saat itu tengah meneliti dampak dan efektivitas dari malaria.
Bukan hanya itu, konon Nazi juga mengembangkan senjata biologis lainnya untuk digunakan dalam Perang Dunia II, meskipun kebanyakan hanya berupa rumor. Meskipun tak pernah terbukti, namun dengan beberapa catatan yang ditemukan di markas Nazi, hal tersebut mengindikasikan adanya rencana perang biologis oleh pihak Hitler.
Bom kalajengking dianggap cukup mematikan untuk dijadikan senjata tradisional
Sekitar dua ribu tahun lalu, beberapa pertempuran pernah menggunakan kalajengking sebagai senjata tradisional untuk melumpuhkan musuh. Ribuan kalajengking dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam sebuah wadah untuk dilontarkan ke pasukan musuh. Terhitung dari pasukan Romawi kuno, Yunani, dan beberapa pasukan pemberontak pernah menggunakan bom kalajengking.
Meskipun cukup mematikan, namun senjata ini dianggap tidak efektif. Pasalnya, habitat kalajengking di alam liar justru akan semakin berkurang dan ini bukan hal baik untuk dijadikan bahan baku pembuatan senjata. Lagi pula, ada beberapa spesies kalajengking yang mungkin bersifat kanibal dan akan membunuh kalajengking lainnya dalam satu wadah yang sama.