Wilayah yang ditempati oleh etnis Uighur di Provinsi Xinjiang, Tiongkok menjadi daerah dengan tingkat hukuman penjara tertinggi di dunia.

"Saya tidak menyangka sepupu saya akan dipenjara," kata salah satu orang bernama Mihrigul Musa yang merespon ketidaksukaannya pada penangkapan saudaranya, Rozikari Tohti tak diberi alasan yang jelas, dilansir dari Associated Press, Senin (16/5).

Kemudian wanita yang kini sudah bertempat tinggal di Norwegia itu bersaksi bahwa Tohti dilempar ke penjara karena alasan keterlibatan dalam ekstrimisme agama.

Keterangan Musa, Tohti merupakan sosok pria dengan keluarga yang sangat lembut hati dan tak pernah sekalipun terlibat dalam aksi teror berlandaskan agama.

Mengutip dari temuan data tinjauan Associated Press, Senin (16/5), terdapat satu dari 25 orang di Pusat Komunitas Uighur telah mengalami hukuman penjara karena tuduhan terorisme.

Sejumlah ahli mengatakan jika kecenderungan itu menunjukkan bahwa penahanan tersebut terjadi hanya karena keturunan etnis Uighur. Namun pandangan berbeda datang dari pihak berwenang Tiongkok.

Menurut juru bicara Provinsi Xianjiang, Elijan Anayat, bahwa proses dalam penangkapan telah dilakukan sesuai dengan landasan hukum.

"Kami tidak pernah secara spesifik menarget wilayah, etnis, ataupun agama tertentu, seperti suku Uighur," jelas Anayat yang dilansir dari Associated Press.

"Kami tak akan pernah salah dalam menilai orang baik, dan tak akan melepaskan yang salah," tambahnya.

Dalam pengakuan ini berdasar melalui daftar nama yang berisikan sekitar 10.000 nama-nama orang Uighur yang dikirim ke penjara.

Temuan itu dilaporkan hanya meliputi wilayah Konasheher saja, satu dari belasan kota di wilayah selatan Xinjiang, pusat etnis Uighur bermukim.

Belakangan, Tiongkok sudah dituduh melakukan aksi brutal terhadap etnis Uighur atas dasar melawan terorisme. Kebanyakan etnis Uighur merupakan umat Muslim.

Temuan tersebut kini jadi data paling besar untuk nama-nama orang Uighur yang dipenjara. Mendorong pada laporan Associated Press, daftar itu mencerminkan betapa masifnya kampanye pemerintah Tiongkok dalam menangkap jutaan orang atau mengirim ke kamp-kamp konsentrasi atas dasar pembersihan etnis.

Dosen Senior Politik dan Hubungan Internasional Universitas James Cook, Anna Hayes, mengatakan Tiongkok mencaplok Xinjiang dimulai pada 1949.

Pada saat itu, etnis Uighur diprediksi mengontrol 76 persen populasi Xinjiang, dikutip dari The Conversation.

Meski begitu, etnis Han Tiongkok menerapkan migrasi ke Xinjiang. Langkah tersebut membuat jumlah populasi Uighur di daerah itu mencapai 42 persen, sementara Han 40 persen.

Telah lama pemerintah Tiongkok menilai Xinjiang dan minoritas Muslim yang salah satunya Uyghur sebagai daerah dan etnis yang tertinggal.

Pada Lompatan Jauh Partai Komunis Tiongkok pada 1958-1962, etnis dan agama dilihat sebagai satu hal penghambat kemajuan dan kebiasaan yang terbelakang.

Pejabat Tiongkok juga menerapkan tindakan keras pada 1980 dan 1990-an, menjadikan banyak warga Uighur mencari perlindungan ke luar negeri.

Selain itu, terjadi bentrokan yang melibatkan etnis Uighur pada 2009. Hingga 200 orang, yang mayoritas merupakan etnis Han, terbunuh, dan sekitar 1.700 orang terluka. Sampai saat itu, kekerasan semakin meningkat, pun melibatkan bom bunuh diri.

Selanjutnya, pihak berwenang Tiongkok mengatasi masalah ini dengan menindak warga Uighur yang dicurigai sebagai pembangkang. Penindakan tersebut dilakukan dengan cara menembak dan memenjarakan mereka.

Tahun 2017, Tiongkok mengambil langkah menindak Uighur secara lebih sistematis. Kemudian pemerintah memasang kamera, pos pemeriksaan, dan patroli yang menjadi tempat tinggal warga Uighur.

Sampai pada laporan organisasi hak asasi manusia mengatakan pemerintah Tiongkok menahan satu juta warga Uighur dalam kamp pelatihan politik. Namun demikian, tudingan ini dibantah oleh pejabat negara tersebut.

Baca Juga: