Amerika Serikat (AS) buka suara terhadap pernyataan Presiden Vladimir Putin yang menyatakan kemenangan pasukan Rusia dalam pertempuran di kota pelabuhan Mariupol pada Kamis (21/4). AS membantah klaim tersebut dan mengatakan bahwa pasukan Ukraina masih berada di Mariupol.

"Lebih banyak disinformasi dari buku pedoman mereka yang sudah usang," tutur Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price, dikutip dari Reuters, Jumat (22/4).

Putin sebelumnya memerintahkan pasukan Rusia untuk memblokade sebuah kompleks pabrik baja terbesar di Mariupol yakni Azovstal. Pabrik tersebut merupakan tempat sejumlah warga Ukraina disebutkan telah menyerahkan diri ataupun meninggal.

Menurut Ukraina, Putin ingin menghindarkan bentrokan terakhir dengan pasukan Ukraina di Mariupol karena ia tidak punya cukup tentara untuk mengalahkan pasukan negara itu.

Namun, beberapa pejabat Ukraina juga menyuarakan permintaan bantuan untuk mengevakuasi para warga sipil, juga prajurit-prajurit yang terluka.

Dalam pertemuan di kantornya, Kremlin, yang disiarkan televisi, Putin menyampaikan selamat kepada menteri pertahanan dan pasukan Rusia.

"(Mereka) berhasil menyelesaikan upaya pertempuran untuk membebaskan Mariupol," ucap Putin.

Meski begitu, Putin menekankan untuk tetap melakukan pengepungan di pabrik baja terbesar di Mariupol yakni Azovstal. Ia bahkan meminta pasukannya tetap memblokade wilayah tersebut.

"Blokir kawasan industri ini sehingga lalat pun tidak bisa masuk," ujarnya.

Seperti diketahui, pasukan Ukraina tetap berada di dalam komplek pabrik baja Azovstal. Adapun pabrik tersebut seluas 11 km persegi dengan bangunan besar, bunker bawah tanah, serta terowongan.

Mariupol merupakan kota pelabuhan utama di wilayah Donbas timur Ukraina, terletak di antara wilayah yang dikuasai oleh separatis Rusia dan Krimea. Dengan merebut kota tersebut, Rusia akan dapat menghubungkan kedua wilayah tersebut karena mengintensifkan serangannya di timur Ukraina.

Kendati Putin mengklaim kemenangan besar pertama sejak pasukannya terdesak keluar dari Kiev serta kawasan Ukraina utara pada Maret, Rusia belum berhasil mencapai kemenangan seperti yang diinginkan.

Mariupol telah mengalami pertempuran paling sengit sejak pasukan Rusia meluncurkan invasi ke Ukraina pada 24 Februari. Kota berpenduduk 400.000 orang itu juga mengalami bencana kemanusiaan terburuk sejak invasi bergulir.

Ukraina memperkirakan sudah puluhan ribu warga sipil yang meninggal di Mariupol. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Palang Merah mengatakan jumlah korban jiwa itu mencapai sedikitnya ribuan orang.

Wali Kota Mariupol Vadym Boichenko, mengatakan pada Kamis (21/4), bahwa hanya Putin yang bisa menentukan nasib 100.000 warga sipil yang terkepung di kota itu.

"Penting untuk dipahami bahwa masih ada orang-orang bernyawa di sana, nasib mereka berada di tangan hanya satu orang Vladimir Putin. Dan kematian yang akan terjadi sekarang, juga ada di tangan dia," tutur Boichenko dalam wawancara.

Deputi Perdana Menteri Ukraina Iryna Vereshchuck mengatakan, 1.000 warga sipil serta 500 prajurit yang terluka perlu segera dibawa keluar dari kompleks baja tersebut. Ia menuding pasukan Rusia bersalah karena tidak membuat koridor aman, yang menurutnya sudah disepakati.

Moskow mengatakan Rusia telah membawa 140.000 warga sipil keluar dari Mariupol dalam gerakan evakuasi kemanusiaan.

Kiev mengatakan beberapa di antara para warga tersebut disuruh keluar secara paksa dari Mariupol. Tindakan seperti itu terhadap mereka bisa dianggap sebagai kejahatan perang.

Baca Juga: