Penempatan obligasi rekap di perbankan pada masa lalu merupakan kejahatan mahabesar sehingga harus dihentikan agar negara tidak hancur lebur akibat beban utang.

Dengan utang negara yang sudah hampir mencapai 7.000 triliun rupiah, maka bunganya saja sudah tidak mampu dibayar, sehingga harus menerbitkan surat utang baru untuk membayar bunga utang sebelumnya.

Para obligor/debitor penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hingga saat ini sebagian besar malah dikemplang, sampai ada yang hanya membayar dalam jumlah kecil, tetapi mengantongi Surat Keterangan Lunas (SKL).

Namun demikian, pemerintah sedang berupaya mencari pembiayaan untuk membangun Ibu Kota Negara yang baru di Penajam, Kalimantan Timur. Kondisi tersebut sangat disesalkan oleh Pakar Ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Achmad Maruf, yang diminta pendapatnya dari Jakarta, Kamis (18/11).

"Untuk bangun IKN, pemerintah tidak punya uang, tetapi untuk membayar para pengemplang BLBI tetap jalan. Ini kejahatan mahabesar yang harus dihentikan, tapi itu akan berakhir kalau pemerintah menindak. Jangan tunggu negara bangkrut," kata Maruf.

Mengenai SKL, Maruf mengatakan piutang negara tidak bisa dihapus hanya dengan selembar surat tersebut, sebab segala sesuatu yang berkaitan dengan aset negara harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

"Dalam Undang-undang No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara di Pasal 37 Ayat 2 poin c menyebutkan bahwa piutang negara yang nilainya di atas 100 miliar rupiah hanya bisa dihapus oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jadi, jangan sampai ada kerugian negara apalagi sampai ribuan triliun rupiah karena kebijakan yang jelas-jelas melanggar UU," kata Maruf.

Dari dua kebijakan di masa lalu itu yakni penempatan obligasi rekap yang terus dibayar bunganya hingga 2043 dan piutang BLBI yang masih dikemplang para obligor/debitor menyebabkan negara tertatih-tatih membiayai pembangunan.

Baca Juga: