BANDUNG - Pelaku usaha yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) terus berupaya meminimalkan dampak cuaca ekstrem El Nino terhadap kelapa sawit. Kolaborasi dengan pemerintah dilakukan untuk mengurangi efek El Nino ke produksi sawit.

"Kami sudah mempunyai standar operasional prosedur (SOP) untuk mencegah El Nino di kebun dan sekitar kebun, bahkan kami terus melakukan audiensi dengan pemerintah," ujar Ketua Umum Gapki, Eddy Martono dalam acara Workshop Wartawan Gapki di Bandung, Jawa Barat, Rabu (23/8).

Eddy menjelaskan salah satu prosedur pencegahan tersebut adalah dengan melakukan modifikasi cuaca untuk menurunkan hujan, berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Selain itu, lanjut dia, usaha preventif lainnya adalah menyiapkan proses penanaman sawit sesuai tata kelola, termasuk dalam melaksanakan pemupukan agar produksi tidak terjun bebas.

"Kami juga tidak melakukan penyemprotan gulma karena bisa menyebabkan kebakaran. Jadi sebelum terjadi El Nino, kami merawat tanaman agar dampaknya tidak drastis," ujarnya.

Meski demikian, dirinya memastikan fenomena El Nino pada 2023 tidak akan seperti peristiwa serupa pada 2015 dan 2019 yang sempat mengganggu produksi sawit hampir selama dua tahun. "Prediksinya tidak seperti 2019 yang panjang, artinya bahwa seharusnya kalau benar prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dampaknya tidak seperti periode 2015-2019," ujarnya.

Sebelumnya, fenomena El Nino diperkirakan dapat memangkas produksi sejumlah produk pertanian di Indonesia seperti padi dan sawit pada 2023 seiring dengan adanya gelombang panas ekstrem pada paruh kedua.

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) bahkan memproyeksikan potensi penurunan produksi padi di Indonesia akibat fenomena kekeringan ini mencapai 1,13 juta ton-1,89 juta ton, dengan penurunan pendapatan petani hingga 20 persen. BMKG juga telah memberikan imbauan bahwa fenomena El Nino akan berlangsung cukup panjang sehingga perlu mitigasi agar tidak terjadi kelangkaan air, potensi kebakaran hutan dan lahan, serta penurunan produktivitas pangan.

Praktik Berkelanjutan

Dalam acara sama, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Eugenia Mardanugraha mendorong industri sawit untuk mengakselerasi penerapan praktik berkelanjutan. Hal itu juga demi mempercepat terbukanya akses pasar di Uni Eropa

Dia menjelaskan, jika produk sawit Indonesia dilarang masuk ke pasar Uni Eropa karena tidak memenuhi persyaratan Undang-undang Deforestasi Uni Eropa (EUDR) ini dapat mengakibatkan kehilangan akses pasar yang penting. Ini dapat memengaruhi ekspor Indonesia dan potensi pendapatan dari pasar tersebut.

"Jika alasan tidak memasok sawit ke Uni Eropa adalah karena keprihatinan terkait dampak lingkungan dan sosial, maka Indonesia mungkin perlu mempercepat upaya untuk mengadopsi praktik berkelanjutan dalam produksi sawit. Ini dapat membantu memenuhi persyaratan pasar," pungkasnya.

Baca Juga: