JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut gap antara indeks inklusi dengan indeks literasi keuangan berkurang pada 2022. Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLKI) 2022 menunjukkan gap antara indeks inklusi keuangan dan indeks literasi keuangan sebesar 35,42 persen, lebih rendah dari sebelumnya 38,16 persen.

"Selalu kita utamakan agar gap ini semakin mengecil. Kalau inklusi tinggi itu bagus, tapi kalau indeksnya jauh dari indeks literasi, ini juga menjadi masalah, karena artinya banyak masyarakat yang menggunakan produk jasa keuangan tanpa memahami," kata Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Friderica Widyasari dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (22/11).

SNLKI 2022 menunjukkan indeks inklusi dan literasi keuangan meningkat masing-masing menjadi 85,10 persen dan 49,68 persen, atau lebih tinggi dari hasil survei pada 2019 sebesar 76,19 persen dan 38,03 persen.

Dari sisi gender, indeks literasi keuangan perempuan mencapai 50,33 persen atau untuk pertama kalinya melebihi indeks literasi laki-laki yang sebesar 49,05 persen.

"Ini hasil dari bagaimana OJK menempatkan perempuan sebagai kelompok prioritas untuk mendapatkan literasi dan edukasi keuangan karena kami memandang perempuan berperan mengelola keuangan keluarga serta mendidik dan memberikan edukasi keuangan kepada anak," imbuhnya.

Namun demikian indeks inklusi keuangan laki-laki yang sebesar 86,28 persen masih lebih tinggi dibandingkan perempuan yang 83,88 persen.

Secara wilayah, indeks inklusi dan literasi keuangan di kota yang masing-masing sebesar 86,73 persen dan 50,52 persen juga lebih tinggi dari indeks inklusi dan literasi keuangan di desa yang sebesar 82,69 persen dan 48,43 persen.

Akses Informasi

Namun demikian gap antara indeks inklusi keuangan kota dengan desa turun menjadi 4,04 persen dari 5,11 persen di 2019, demikian pula gap literasi keuangan kota dan desa turun menjadi 2,1 persen dari 6,88 persen.

"Hal ini sejalan dengan strategi pelaksanaan edukasi keuangan OJK, yaitu meningkatkan kuantitas pelaksanaan edukasi keuangan di desa. Ini sejalan dengan banyaknya kasus penipuan berkedok investasi yang dialami warga desa karena akses informasi terbatas," ucapnya.

Baca Juga: