Kebijakan ganjil genap yang mulai diterapkan Pemprov DKI ini terkesan tergesa-gesa serta tidak memiliki perspektif yang utuh tentang pandemi Covid-19.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali memberlakukan kebijakan ganjil-genap, Senin (3/8). Tujuan kebijakan ini adalah sebagai 'rem darurat' untuk merendam klaster perkantoran Covid-19. Klaster perkantoran kini menjadi penyumbang angka tinggi laju kasus baru korona di masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) Transisi di ibu kota negara. Ganjil genap kendaraan bermotor ini akan dilangsungkan di 25 ruas jalan ibu kota. Ganjil genap akan berlaku antara pukul 06.00-10.00 WIB dan 16.00-21.00 WIB.

Yang menjadi pertanyaan publik adalah adakah hubungan kebijakan ganjir-genap ini dengan laju kasus baru korona di klaster perkantoran di masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) Transisi di ibu kota negara ? Bukankah lebih aman menggunakan transportasi pribadi dari pada transportasi publik. Bukankah kebijakan ganjil genap ini akan menyebabkan orang beralih pada transportasi publi yang rawan akan penularan Covid-19?

Kebijakan ganjil-genap ini tak tepat di tengah upaya penekanan penyebaran virus korona. Kebijakan ganjil-genap ini juga tidak punya relasi dengan tinggi laju kasus baru korona di masa PSBB Transisi di ibu kota negara, khususnya di perkantoran.

Justru kebijakan ganjil genap ini berpotensi memunculkan klasterbaru korona di transportasi public atau sarana umum lainnya. Pengguna kendaraan pribadi akan berkurang dan beralih ke kendaraan umum. Karena itu, keliru kalau dasar pertimbangan Pemprov DKI Jakarta menerapkan ganjil genap untuk menekan lajunya penularan Covid-19 di perkantoran.

Sistem ganjil genap merupakan kebijakan yang berupaya mengendalikan penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke transportasi umum. Selain itu, kebijakan ganjil genap dibuat atau dilahirkan dengan perhitungan bukan pada situasi keadaan darurat atau bencana kesehatan di masa pandemi Covid-19 seperti saat ini. Kebijakan ganjil genap dibuat dan dilahirkan untuk mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor pribadi agar tidak macet pada masa normal. Karena itu tidak ada hubungan antara penanganan penularan pada masa pandemi Covid-19 dengan kebijakan ganjil genap.

Bila Pemprov DKI ingin menekan penularan virus korona di perkantoran seharusnya yang dilakukan adalah memperketat pengawasan pembatasan kapasitas karyawan di perkantoran. Selama ini pengawasan di area perkantoran terbilang sangat minim sekali. Bahkan saat PSBB transisi sekarang ini banyak perkantoran atau perusahaan yang mempekerjakan pekerjanya 100 persen,

Kita berharap Pemprov DKI lebih logis lagi dalam membuat kebijakan publik. Kebijakan ganjil-genap justru akan menimbulkan ancaman terhadap keselamatan masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Kebijakan ganjil genap berpotensi menimbulkan kerumunan sekaligus menjadi ancaman terhadap keselamatan jiwa masyarakat. Kebijakan itu akan memaksa warga yang hanya memiliki satu kendaraan untuk menggunakan transportasi angkutan umum.

Kerumunan di halte-halte maupun terminal maupun tempat pemberhentian angkutan umum, akan meningkat. Potensi warga yang akan tertular Covid-19 di area publi sangat besar sekali. Bila yang bersangkutan tertular di angkutan umum atau area umum, kemudian mereka ke kantor, maka yang terjadi sebaliknya. Bukan mencegah menularan malah menyebarkan penularan Covid-19 di perkantoran.

Kita memang perlu mengkritisi kebijakan ganjil -genap di tengah pandemi Covid-19 saat ini. Kebijakan ganjil genap yang mulai diterapkan Pemprov DKI ini terkesan tergesa-gesa serta tidak memiliki perspektif yang utuh tentang pandemi Covid-19.

Tingginya volume lalu lintas di Jakarta maupun penumpukan penumpang di sarana transportasi umum selama PSBB transisi ini lebih karena ketidakpatuhan instansi baik pemerintah, BUMN, BUMD, maupun perusahaan swasta dalam membatasi jumlah pegawai kerja di kantor.

Pemprov DKI harus tegas dengan aturan pembatasan kapasitas pegawai yang bekerja di kantor. Pemberlakuan ganjil genap tanpa didahului pengawasan dan penindakan terhadap instansi, lembaga, dan perusahaan yang melanggar hanya akan mengalihkan para pelaju dari penggunaan transportasi pribadi ke transportasi publik. Akhirnya akan mendorong munculnya klaster transmisi Covid-19 ke transportasi publik. n

Baca Juga: