Ada dua tantangan yang dihadapi media massa saat mengalami perubahan besar setelah bermigrasi dari konvensional ke digital.
JAKARTA - Calon presiden (Capres) nomor urut 3, Ganjar Pranowo, menilai ada dua tantangan yang dihadapi media massa saat mengalami perubahan besar setelah bermigrasi dari konvensional ke digital. Banyak media massa mengalami guncangan akibat peralihan tersebut.
"Ada dua tantangan. Pertama, ketika disrupsi media sedang terjadi dari konvensional menjadi digital, rasa-rasanya seluruh media sedang terguncang," kata Ganjar saat berbicara pada Diskusi Capres Bicara Pers di Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, di Jakarta, Kamis (30/11).
Diskusi tersebut diselenggarakan secara berseri, dengan seri pertama menampilkan Capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo.
Ganjar menilai, media massa di zaman sekarang perlu mendapat dukungan dari pemerintah, salah satunya yaitu dalam bentuk kebijakan. Hal itu untuk keberlanjutan aktivitas media massa itu sendiri.
"Maka, memang perlu dukungan dari pemerintah (supaya) bisa bertahan, bisa mengubah regulasinya atau intensif yang diberikan, sehingga mereka akan bisa berproses dari konvensional ke digital," jelas mantan Gubernur Jateng itu.
Selain peralihan dari konvensional ke digital, lanjut Ganjar, tantangan kedua ialah masifnya kehadiran media sosial. Menurut dia, kehadiran media sosial juga menjadi kompetitor bagi media massa arus utama (mainstream).
"Kedua, tentu karena ada kompetitor, kalau bisa saya sebut ada medsos (media sosial). Maka, hari ini, rasa-rasanya kita butuh ilmu komunikasi, kita berkembang," ucap Ganjar.
Lebih Inovatif
Seperti dikutip dari Antara, Ganjar menjelaskan perkembangan komunikasi harus diikuti dengan strategi penyampaian informasi yang lebih inovatif, tetapi tetap memperhatikan pedoman Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
"Agar (media) yang mainstream bisa menjalankan bisnis medianya sesuai dengan kode etik jurnalistik yang ada, tetapi yang media sosial diajarkan," ujar Ganjar.
Sementara itu terkait pemilih pemula, Ganjar mengatakan pemilih pemula lebih menyukai trik yang dimunculkan capres-cawapres untuk menarik perhatian daripada visi dan misi peserta Pilpres 2024.
"Banyak media, ketika bertanya kepada saya apa visi dan misinya, apa programnya, dan seterusnya. Kalangan pemilih, apalagi pemilih pemula, itu tidak terlalu tertarik, (mereka) tertarik lebih kepada gimik," kata Ganjar.
Para pemerhati politik pun, menurut Ganjar, menilai demokrasi bisa berjalan secara substansi dan bukan prosedur. Sebab, substansi demokrasi tak hanya berkenaan dengan aspek politik, tetapi juga alam pikir ekonomi dan sosial budaya.
Asumsinya, lanjutnya, apabila keadaan ekonomi dan sosial suatu negara baik, otomatis akan diikuti pula dengan kemajuan politik. Hal itu berarti pula kemajuan substansi demokrasi. "Kemudian, para kandidat itu bisa menyampaikan apa yang menjadi ide, gagasan, kondisi, dan solusi," tambahnya.
Mantan Gubernur Jawa Tengah itu khawatir kalau setiap pemimpin baru memiliki visi dan misi yang berbeda dengan konstitusi.
Dia lalu bercerita terkait peristiwa di tahun 1998, di mana saat itu merupakan momen penting bagi sejarah bangsa Indonesia. Saat itu, Presiden kedua RI, Soeharto, mengumumkan berhenti dari jabatannya sebagai Kepala Negara setelah 32 tahun berkuasa.
Turunnya Presiden Soeharto pada peristiwa 21 Mei 1998 itu menjadi tonggak awal Indonesia memasuki era reformasi.
"Saya akan memulai dari cerita 98 saja, karena peristiwa 98 itu penting. Itulah yang menjadi cita-cita dari seluruh perbaikan yang ada di bangsa dan negara ini," ujar Ganjar.
Sementara itu, Ketua PWI Pusat, Hendry Ch Bangun, mengatakan Ganjar memaparkan visi misi dan program kerja sebagai calon presiden Indonesia. Tak hanya itu, mantan Gubernur Jawa Tengah itu akan melakukan tanya-jawab terkait kemerdekaan pers.
"Diundang untuk pemaparan program, menjawab pertanyaan tentang kemerdekaan pers dan seterusnya," kata Hendry Ch Bangun.