Pemerataan pelayanan Aritmia di Indonesia masih harus ditingkatkan lagi agar kemajuan di bidang Aritmia dapat dinikmati oleh pasienpasien di Indonesia secara menyeluruh.
Pemerataan layanan tersebut mencakup ketersediaan sumber daya manusia (SDM) mengingat masih minimnya jumlah dokter subspesialis Aritmia di Indonesia dan alat-alat yang diperlukan pada layanan kesehatan. Prof. Dr. dr. Yoga Yuniadi Sp.JP(K), Guru Besar Ilmu Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengatakan saat ini hanya ada sekitar 26 dokter subspesialis Aritmia yang ada di Indonesia dengan pusat di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
"Tahun 1985 sampai 1999 hanya ada satu orang dokter ahli Aritmia di Indonesia. Sampai tahun 2006, hanya ada dua orang. Sekarang 2017 sudah ada 26 dokter ahli Aritmia tetapi masih hanya ada satu pusatnya saja," ujar Yoga di acara Overview dan Outlook tentang penyakit Aritmia di Indonesia tahun 2018, pekan lalu.
Dr. Dicky Armein Hanafy, SpJP(K), FIHA, Ketua Indonesian Hearth Rhythm Society Meeting (InaHRS) juga menambahkan pengetahuan para dokter spesialis jantung dan pembuluh darah mengenai Aritmia belum merata, baik jumlah dokter subspesialis Aritmia ataupun fasilitas dan alat yang diperlukan.
"Di antara lebih dari 1.000 orang dokter spesialis jantung dan pembuluh darah (SpJP), saat ini hanya ada sekitar 26 orang subspesialis Artimia, yang artinya rasio 1 banding 10 juta orang, padahal idealnya itu rasio 1 banding 100 ribu orang," terangnya.
Dicky melanjutkan, bahwa peminat untuk Aritmia juga masih sangat kurang karena ilmunya yang spesifik membutuhkan waktu yang lama untuk program pendidikannya. "Kendalanya juga bidangnya dianggap relatif lebih sulit dan sebagai bidang yang kurang menghasilkan. Karena untuk operasi jantung yang koroner bisa dilakukan dalam waktu yang singkat, satu jam. Kalau operasi Aritmia ini bisa sampai enam jam," lanjut Dicky.
Oleh karena itu, salah satu outlook dan goal yang diharapkan oleh InaHRS sebagai asosiasi profesional peminatan Aritmia di 2018 ini adalah pemerataan pelayanan Aritmia di seluruh Indonesia dan peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai Aritmia. Perlu diketahui, Aritmia merupakan segala bentuk gangguan produksi impuls atau abnormalitas penjalaran impuls listrik ke otot jantung. Penderitanya memiliki gangguan pada irama nadinya yang menjadi tidak beraturan, bisa menjadi lebih cepat atau lebih lambat.
Dapat Menyerang Semua Usia
Aritmia dapat membuat irama nadi menjadi tidak beraturan, terlalu lambat kurang dari 60 kali per menit, atau pun terlalu cepat yaitu 100 kali per menit, dan memiliki hambatan impuls supra atau intraventrikular. Keluhan yang dirasakan oleh penderita Aritmia yang paling sering dialami adalah berdebar-debar.
"Denyut jantung lebih cepat dari biasanya atau berubah-ubah antara cepat dan lambat," ujar Dicky.
Selain itu, merasa lelah dan tidak bertenaga berkelanjutan juga merupakan salah satu gejala awal penderita Aritmia. Terasa nyeri dan tidak nyaman di dada, pusing, pingsan, merasa nafas pendek, kesulitan melakukan olah raga atau aktivitas sehari-sehari, dan sering buang air kecil adalah gejala-gejala lainnya.
"Sering buang air kencing karena jantung mengeluarkan hormon-hormon yang membuat orang ini buang air kecil. Tetapi tidak semua orang mengalami semua gejala-gejala tersebut," ujar Dicky.
Aritmia umumnya terjadi pada orang tua, namun tidak menutup kemungkinan bahwa bayi atau anak muda bisa terjangkit penyakit ini. "Aritmia dapat mengenai ke semua rentang usia, dari bayi hingga lansia, kami anjurkan masyarakat mengenali gejala-gejala Aritmia karena spektrum Aritmia yang luas, mulai dari berdebar, keleyengan, pingsan, stroke, hingga kematian mendadak," terangnya.
Penyebab Aritmia pun beragam, ada karena ketidak seimbangan kadar elektrolit di dalam tubuh, penggunaan obat-obatan, sering mengonsumsi alkohol, dan gangguan kelenjar tiroid. Untuk pengobatannya sendiri, jika merasakan gejala-gejala seperti yang sudah dijabarkan ada baiknya untuk segera pergi ke dokter dan menceritakan keluhannya.
"Karena pengobatan Aritmia mempunyai beberapa jenis, ada yang karena kelainan katup atau kelainan bawaan. Dan itu punya metode terapi masing-masing, jadi memerlukan adanya analisa lebih lanjut dari dokter spesialis jantung dan tidak mudah untuk mendiagnosa Aritmia," tambah dr. Agung Fabian Chandranegara, SpJP (K), Ketua Panitia Kampanye Fibrilasi Atrium (FA) 2017 pada acara yang sama.
Ada yang namanya terapi farmakologis, elektroterapi, dan terapi bedah.
Terapi farmakologis adalah terapi dengan menggunakan obat-obatan golongan Aritmia. Pemakaian obat yang menjadi tata laksana Aritmia saat ini adalah dengan pemakaian obat antikoagulan oral baru untuk mencegah stroke pada kelainan irama fibrilasi atrium.
Antikoagulan oral baru tidak hanya efektif dalam menyelesaikan permasalahn risiko pendarahan, reaksi silang antar obat, hubungan dosis-efek yang sulit diprediksi, dan pengaruh makanan terhadap absorbsi obat, tetapi juga memberikan kemudahan dalam pencegahan stroke pada fibrilasi atrium.
Sedangkan untuk elektroterapi memiliki bermacam teknik dan modalitas yang berbeda-beda, salah satunya adalah alat Kardioversi-defibrilasi tertanam yaitu dengan sebuah alat pada tubuh pasien yang berfungsi untuk memonitor dan menghantarkan arus kardioversi secara otomatis bila terdeteksi Aritmia. Sementara terapi bedah pada Aritmia memiliki prinsip yang sama dengan terapi ablasi yaitu dengan menghancurkan fokus Aritmia secara mekanik.
Salah satu kasus Aritmia yang paling sering terjadi adalah Fibrilasi Atrium (FA). Tidak jarang, stroke merupakan manifestasi klinis pertama dari FA. FA merupakan suatu penyakit terkait umur dengan prevalensi yang mencapai satu hingga dua persen dan terus meningkat dalam 50 tahun mendatang. gma/R-1