Degung, kesenian khas Sunda, kini sudah mulai jarang dimainkan. Jangankan anak-anak muda, orang yang berusia lanjut pun tidak banyak yang mengenal seni degung. Padahal degung menjadi musik khas yang sering dimainkan pada zaman dahulu saat hajatan atau di tempat khusus, seperti kerajaan.

Keprihatinan ini membuat Pemprov Jawa Barat (Jabar) khususnya, kembali menggali dan mengembangkan kesenian degung ini, terutama kepada masyarakat milenial saat ini. Misalnya dengan melakukan lomba atau pasanggiri seni degung. Meskipun pesertanya juga tidak terlalu banyak yang menandakan kurang diminati.

Wakil Gubernur Jabar, Deddy Mizwar, menyatakan miris dengan seni degung yang sudah jarang lagi dimainkan. Kecuali pada acara-acara khusus saja. Menurutnya tidak masalah jika seni degung ini berkolaborasi dengan musik terbaru, tujuannya agar disukai generasi saat ini.

"Seni degung klasik harus berkolaborasi dengan seni modern yang mengedepankan sentuhan krearivitas dan teknologi," katanya.

Hal ini merupakan salah satu cara mengembangkan seni tradisi Sunda khususnya degung agar menjadi karya pertunjukan menarik dan mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat, bahkan menjadi kekuatan ekonomi baru.

"Ke depannya kolaborasi kreatif antara degung klasik dengan seni modern yang mengedepankan sentuhan kreativitas dan teknologi bisa menjadi jalan tengah bagi pengembangan seni degung sehingga dapat menjadi karya seni pertunjukan yang menarik bahkan menjadi kekuatan ekonomi baru untuk lebih mendapatkan apresiasi tinggi dari khalayak," tutur Deddy.

Pada kurun waktu 1950-1960 seni degung mengalami perkembangan pesat bahkan dapat dikatakan sebagai masa keemasan yang selalu tampil di acara pemerintahan dan perayaan di masyarakat.

Saat itu muncul seniman Sunda yang memiliki andil besar dalam perjalanan seni degung yaitu Raden Arya Adipati Wiranatakusuma ke-5 yang saat itu menjabat sebagai Bupati Bandung. Lalu muncul tokoh-tokoh populer saat itu, seperti Encar Carmedi, Djuju Sain dan lainnya dengan lagu yang ditampilkan berjudul Pajajaran, Galatik Manggut, Bima Mobos.

Di era 1980-1990 seni degung berkembang menjadi degung kawih yang juga melahirkan seniman terpopuler Nani Suratno yang kini karya-karya masih diperdengarkan dan dimainkan.

Seiring berkembangnya musik modern. Seni degung mengalami penurunan atau meredup bahkan saat ini sulit menemukan generasi muda yang menekuni seni degung dan jarang ditampilkan di panggung rakyat karena kalah pamor dengan seni modern yang tumbuh subur.

Pasanggiri seni degung tingkat sekolah harus sering dilakukan, bukan hanya even tahunan. Tingkat sekolah menjadi ukuran penting untuk melestarikan degung. Sekaligus menumbuhkembangkan minat generasi muda terhadap seni degung.

Gamelan Khas yang Megah

Ada beberapa gamelan yang pernah ada dan terus berkembang di Jawa Barat, antara lain Gamelan Salendro, Pelog dan Degung.

Gamelan salendro biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan lain-lain. Gamelan pelog fungsinya hampir sama dengan gamelan salendro, hanya kurang berkembang dan kurang akrab di masyarakat, dan jarang dimiliki grup-grup kesenian di masyarakat.

Sementara gamelan degung dirasakan cukup mewakili kekhasan masyarakat Jawa Barat. Gamelan lainnya adalah gamelan Ajeng berlaras salendro yang masih terdapat di Kabupaten Bogor, dan gamelan Renteng yang ada di beberapa tempat, salah satunya di Batu Karut, Cikalong Kabuki Bandung.

Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat Sunda. Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, Kerajaan Galuh misalnya, memiliki pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang banyak diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango.

Kata degung berasal dari kata ngadeg (berdiri) dan agung (megah) atau pangagung (menak atau bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. Zaman dahulu hanya dimainkan pembesar sekelas bupati.

Bupati Cianjur RT Wiranatakusumah V (1912-1920) melarang degung memakai nyanyian karena membuat suasana kurang serius. Ketika Bupati ini pada 1920 pindah menjadi Bupati Bandung, perangkat gamelan degung di pendopo Cianjur juga turut dibawa bersama nayaganya, dipimpin Idi. Sejak itu gamelan degung yang bernama Pamagersari ini menghiasi pendopo Bandung dengan lagu-lagunya. tgh/R-1

Alat Musik untuk Opera Sunda

Instrumen atau waditra gamelan degung awalnya hanya terdiri atas koromong atau bonang, cempres, jenglong dan gong. Kemudian penambahan instrumen muncul sesuai kebutuhan untuk penampilannya, seperti kendang dan suling.

Gamelan degung Kabupaten Bandung, bersama kesenian lain digunakan sebagai musik gending karesmen atau opera Sunda kolosal Loetoeng Kasaroeng pada 18 Juni 1921 dalam menyambut Cultuurcongres Java Institut.

Sebelumnya, pada 1918 Rd. Soerawidjaja pernah pula membuat gending karesmen dengan musik degung, yang dipentaskan di Medan. Pada 1926 degung dipakai untuk ilustrasi film cerita pertama di Indonesia berjudul Loetoeng Kasaroeng oleh L. Heuveldrop dan G. Kruger produksi Java Film Company, Bandung.

Karya lainnya yang menggunakan degung sebagai musiknya adalah gending karesmen Mundinglaya dikusumah oleh M. Idris Sastraprawira dan Rd. Djajaatmadja di Purwakarta pada 1931.

Namun degung kemudian seakan punah seiring revolusi fisik perang kemerdekaan. Kembali muncul lewat siaran RRI pada 1956. Pada 1980an semakin banyak yang menggarap degung, misalnya seniman Sunda legendaris Nano S.

Ia dengan grup Gentra Madya-nya memasukan unsur waditra kacapi dalam degungnya. Nano S. membuat lagu degung dengan kebiasaan membuat intro dan aransemen tersendiri.

Beberapa lagu degung karya Nano S. yang direkam dalam kaset sukses di pasaran, di antaranya Panglayungan (1977), Puspita (1978), Naon Lepatna (1980), Tamperan Kaheman (1981), Anjeun (1984) dan Kalangkang yang dinyanyikan Nining Meida dan Barman Syahyana (1986).

Lagu Kalangkang ini lebih populer lagi setelah direkam dalam gaya pop Sunda oleh penyanyi Nining Meida dan Adang Cengos sekitar 1987.

Kabar baiknya, di luar Indonesia pengembangan degung dilakukan perguruan tinggi seni dan beberapa musisi, misalnya Lingkung Seni Pusaka Sunda University of California (Santa Cruz, USA), musisi Paraguna (Jepang), serta Evergreen, John Sidal (Kanada). Di Melbourne, Australia, ada satu set gamelan degung milik University of Melbourne yang sering digunakan sebuah komunitas pencinta musik Sunda untuk latihan dan pementasan di festival-festival.

Dari perjalanan yang panjang, degung sebagai seni musik tradisi, sudah selayaknya kembali dikembangkan untuk lebih dicintai oleh generasi milenial saat ini, khususnya di Jabar. tgh/R-1

Baca Juga: