Eksekusi dari keempat poin dalam negosiasi itu tidak sesuai dengan harapan, apalagi ada beberapa hal yang kurang sesuai antara pemerintah dan Freeport.

JAKARTA - PT Freeport Indonesia diminta untuk konsisten menjalankan hasil negosiasi yang disepakati. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut diminta untuk menaati poin-poin dalam kesepakatan yang mengacu pada regulasi di Indonesia, terutama divestasi saham 51 persen, perubahan kontrak, dan pembangunan fasilitas pemurnian (smelter).

Pengamat Energi dari Indonesia for Global Justice (IGJ), Budi Affandi, mencurigai eksekusi dari keempat poin dalam negosiasi itu tidak sesuai dengan yang diharapkan, apalagi ada beberapa hal yang masih kurang sesuai antara pemerintah dan Freeport. Sampai saat ini, pemerintah dan Freeport masih berbeda pendapat soal teknis dari divestasi, smelter dan perpanjangan kontrak.

Terkait perpanjangan operasi, misalnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, mengatakan pengajuan pertama boleh dilakukan sejak sekarang. Hal ini mengacu pada aturan bahwa pengajuan perpanjangan kontrak boleh dilakukan lima tahun sebelum masa kontrak habis pada 2021.

Pengajuan perpanjangan kedua boleh dilakukan sebelum masa kontrak habis pada 2031. "Itu jika Feeport hendak mengajukan lagi perpanjangan kontrak hingga 2041 dan sesuai persayaratan," papar Jonan.

Di sisi lain, Freeport menyebutkan pemerintah bersama Freeport bersepakat memperpanjang kontrak Freeport di Papua hingga 2041. "PTFI akan mengubah bentuk Kontrak Karya (KK) menjadi suatu izin pertambangan khusus (IUPK) yang akan memberikan hak-hak operasi jangka panjang bagi PTFI hingga 2041," ungkap Presiden dan Chief Executive Officer, Richard C Adkerson, di Jakarta, Rabu (30/8).

Pernyataan tersebut berdasarkan rilis terbaru Freeport seusai menggelar konferensi pers bersama pemerintah, di Jakarta, kemarin. "Saya mencurigai masih banyak masalah dalam mengeksekusi kebijakan ini ke depan karena bisa terlihat dari bedanya pernyataan ini," ungkapnya.

Mengacu UU

Budi meminta pemerintah untuk konsisten kepada Undang-Undang Nomor 4 tentang Mineral dan Batu Bara. Hal itu terkait dengan IUPK, divestasi serta smelter serta perpanjangan operasi. Poin-poin kesepakatan harus mengacu pada standar yang mengacu pada Undang-Undang (UU).

Menurut Budi, keluarnya pernyataan tersebut dari Freeport menandakan perusahaan itu masih di atas angin. Perusahaan tersebut masih merasa setara dengan pemerintah. "Untuk itu, pemerintah tidak boleh terlalu kompromis. Jangan terlalu beri ruang bagi Freeport untuk setara dengan pemerintah," paparnya.

Selain perbedaan terkait perpanjangan operasi, hal janggal lainnya yakni terkait dengan keengganan Freeport untuk melepas saham hingga 51 persen kepada pemerintah. Dalam kesepakatannya, Freeport memang telah bersedia, tetapi perusahaan itu menghendaki agar pelepasan saham dilakukan setelah pemerintah memberikan perpanjangan kontrak hingga 2041.

Hal serupa juga terkait dengan pembangunan fasilitas pengelolahan dan pemurnian. Freeport baru membangunnya setelah pemerintah memberikan kepastian perpanjangan kontrak.

"Saya mengkhawatirkan teknis dari pelepasan saham ini akan berjalan alot dan Freeport makin diberi ruang untuk memperkuat posisinya," ungkap Budi.

Namun, divestasi saham 51 persen dianggap sangat rawan. Pasalnya, tidak sedikit pihak yang berkepentingan dengan hal itu. Pengamat Energi, Marwan Batubara, memprediksi pihak swasta sedang mengincar saham Freeport. ers/E-10

Baca Juga: