BEIJING - Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan bahwa fragmentasi geoekonomi semakin memperbesar risiko pertumbuhan ekonomi global. Fragmentasi tersebut akan merugikan ekonomi dunia sekitar 2 persen dari sisi output.

Kepala Divisi Kajian Ekonomi Dunia di Departemen Riset IMF, Daniel Leigh, saat wawancara dengan Xinhua seperti dikutip Antara pada pertemuan musim semi IMF dan Bank Dunia di Washington, pekan lalu, mengatakan beberapa negara meningkatkan rintangan bagi alur perdagangan dan teknologi. "Sayangnya, ini adalah dunia yang kompleks. Kita lihat banyak negara menjadi semakin memutuskan diri," kata Leigh.

Dia dalam kesempatan itu mengakui kalau kawasan Asia, khususnya Tiongkok menjadi titik terang bagi ekonomi dunia. Ia yakin pemerintah Tiongkok akan mengarahkan ekonominya melewati berbagai tantangan internasional.

Menanggapi peringatan IMF itu, pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Wasiaturrahma, mengatakan sistem ekonomi multilateral berbasis aturan perlu beradaptasi dengan perubahan lanskap ekonomi global atas dinamika dan krisis yang terjadi.

"Dampak perang di Ukraina memang sangat luar biasa. Setelah berpuluh-puluh tahun negara-negara memperdalam integrasi ekonomi global, dunia menjadi lebih saling terhubung dan saling bergantung, tetapi juga lebih beragam dan multikutub. Dengan ketegangan sistem ekonomi global selama krisis keuangan global telah memburuk dengan intensifikasi ketegangan geopolitik karena perang di Ukraina dan persaingan teknologi tinggi antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok," kata Wasiaturrahma.

Sebab itu, sistem multilateral berbasis aturan perlu beradaptasi dengan perubahan lanskap ekonomi global untuk menjaga manfaat integrasi ekonomi global dan menghindari fragmentasi yang tidak terkendali.

Pengamat ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan peringatan IMF itu relevan karena buktinya saat ini beberapa negara sudah antre menjadi pasien IMF, karena konflik geopolitik dan dampak Covid-19 yang masih terasa.

"Indonesia bisa meminimalkan dampak perlambatan ekonomi global ini dengan catatan harus mengurangi kebergantungan pada impor maupun utang dari negara yang berkonflik. Kemandirian ekonomi adalah keharusan agar tidak mudah terpengaruh dinamika geopolitik," papar Esther.

Industri Dalam Negeri

Sementara itu, pakar ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Eugenia Mardanugraha, berpendapat pemerintah Indonesia harus bersiap untuk menghadapi ketertutupan ekonomi ini. Misalnya, jika suatu saat AS atau Belanda melarang produk Indonesia masuk ke negaranya.

Selain mengurangi kebergantungan pada impor, Eugenia juga mengimbau untuk memperkuat kapasitas industri dalam negeri terutama untuk memproduksi barang-barang substitusi impor, seperti pangan dan farmasi yang merupakan kebutuhan dasar rakyat.

Soal isu geoekonomi yang diembuskan IMF, Eugenia melihat hal itu sebagai kekhawatiran AS terhadap ketertutupan negara-negara lain berdagang dengan AS atau menggunakan dollar AS sebagai media perdagangan. Kalau itu terjadi, AS khawatir perannya dalam perdagangan Internasional semakin mengecil.

Baca Juga: