Sebuah forum internasional yang digelar di Vietnam menyatakan bahwa jumlah dan intensitas insiden yang melibatkan kekuatan fisik dan ancaman kekerasan bersenjata di LTS dalam kurun waktu 15 tahun terakhir telah kian meningkat.

HA LONG - Negara-negara Asia-Pasifik harus mematuhi kewajiban mereka untuk tidak menggunakan atau mengancam untuk menggunakan kekuatan di tengah meningkatnya ketegangan di Laut Tiongkok Selatan (LTS), sebuah panel ahli internasional memperingatkan hal itu dalam forum bertajukNavigating Narratives, Nurturing Normsyang digelar di Ha Long, Vietnam.

Para peserta konferensi dua hari yang berakhir pada Kamis (24/10) fokus untuk mengkaji bagaimana prinsip tidak menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa harus dipahami dan ditegakkan oleh para pihak yang bersengketa di LTS dan masyarakat internasional.

Euan Graham, seorang analis senior di Australian Strategic Policy Institute (ASPI), mengatakan bahwa dibandingkan dengan kawasan lain seperti Timur Tengah dan Eropa, hanya ada sedikit sekali konflik bersenjata terjadi di antara negara di Asia-Pasifik.

"Dalam 15 tahun terakhir ini, LTS telah menjadi lebih terkait dengan penggunaan taktik pemaksaan oleh Tiongkok termasuk konfrontasi fisik tetapi di bawah ambang batas kekuatan militer yang biasa disebut aktivitas zona abu-abu, menghadirkan ancaman kekuatan yang jelas," ungkap Graham. "Jumlah dan intensitas insiden yang melibatkan kekuatan fisik dan ancaman kekerasan bersenjata pun telah meningkat,"imbuh dia.

Ketegangan antara Tiongkok dan Filipina telah meningkat tajam tahun ini di bagian LTS yang berada di bawah yurisdiksi Manila, demikian juga termasuk dalam apa yang disebut sebagai sembilan garis putus-putus yang dibuat Beijing di peta untuk mendukung klaimnya atas sebagian besar wilayah di laut tersebut.

Juru bicara Penjaga Pantai Filipina, Jay Tarriela, mengatakan pada konferensi tersebut bahwa negaranya memiliki pengalaman langsung atas agresi Tiongkok, tetapi negara-negara lain di kawasan ini juga menderita akibat perilaku ilegal dan tidak dapat diterima.

Tarriela mengatakan bahwa dari sudut pandang Manila, untuk mencapai solusi damai atas perselisihan di LTS, negara-negara di kawasan ini harus membangun pemahaman bersama dan saling menghormati berdasarkan hukum internasional, dan memastikan transparansi dalam kebijakan mereka.

"Perjuangan Filipina tidak hanya menyangkut kedaulatan kami, tetapi juga perjuangan semua orang," kata Tarriela. "Kita tidak boleh membiarkan aktor negara mana pun menghindari hukum internasional dan memveto Piagam PBB," imbuh dia.

Tanggapan Beijing

Menanggapi kritik terhadap kebijakan negaranya di LTS, seorang pakar Tiongkok mengatakan bahwa Beijing telah banyak menahan diri dan bersabar.

Lei Xiaolu, seorang profesor di Institut Studi Perbatasan dan Kelautan Tiongkok di Universitas Wuhan, mengatakan bahwa negara-negara lain harus menyadari bahwa Tiongkok tidak akan pernah mengabaikan klaimnya atas empat kepulauan dan perairan di LTS.

"Sengketa maritim membutuhkan waktu, kesabaran, dan kemauan politik untuk mencapai solusi akhir," kata Lei seraya mendesak semua pihak untuk duduk bersama dan berdiskusi dengan itikad baik.

Lei pun menegaskan bahwa sebagian besar negara Asia tenggara sudah memiliki mekanisme konsultasi bilateral dengan Tiongkok. "Hanya melalui peningkatan komunikasi, tidak semata melalui jalur diplomatik, oleh lembaga pemerintah lain dari negara-negara terkait, yang dapat membantu mencegah konflik," ucap dia.RFA/I-1

Baca Juga: