JENEWA - Forum PBB mengenai nasib orang-orang keturunan Afrika, Forum Permanen Masyarakat Keturunan Afrika atauPermanent Forum on People of African Descent(PFPAD) di Jenewa, dibuka pada hari Selasa (16/4), dengan seruan untuk pendanaan tambahan untuk mendukung pekerjaan dan kemajuan menuju reparasi perbudakan transatlantik dan warisannya dalam masyarakat kontemporer.

Dikutip dari The Straits Times, selama lebih dari empat abad, setidaknya 12,5 juta orang Afrika diculik, diangkut secara paksa sejauh ribuan kilometer (mil) terutama oleh kapal dan pedagang Eropa, dan dijual sebagai budak. Mereka yang selamat dari pelayaran brutal tersebut akhirnya bekerja keras di perkebunan di Amerika, sebagian besar di Brazil dan Karibia, sementara yang lain mengambil keuntungan dari kerja mereka.

Dalam pesan video pada pembukaan sesi ketiga forum, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, menegaskan kembali rasisme didasarkan pada perbudakan dan kolonialisme selama berabad-abad. Dia mengatakan reparasi harus menjadi bagian dari upaya untuk mengatasinya.

Gagasan membayar reparasi atau melakukan perbaikan terhadap perbudakan transatlantik memiliki sejarah panjang dan masih diperdebatkan, namun telah mendapatkan momentum di seluruh dunia.

"Tidak ada diskusi nyata mengenai pembangunan tanpa diskusi mengenai reparasi," kata Gaynel Curry, yang ditunjuk oleh Bahama sebagai anggota PFPAD, yang mengadakan sidang pertamanya pada tahun 2022.

PFPAD tahun lalu mengusulkan agar dibentuk pengadilan khusus untuk menangani reparasi.

Pakar hukum di Universitas Howard, Justin Hansford, yang didukung oleh Departemen Luar Negeri AS untuk bertugas di forum tersebut, meminta negara-negara anggota PBB untuk mendanai PFPAD agar dapat terus menjalankan tugasnya. "Perkuat kata-kata Anda dengan tindakan," kata Hansford.

Pada sesi tersebut, yang berakhir pada hari Jumat, Perwakilan Khusus Amerika Serikat untuk Kesetaraan dan Keadilan Rasial, Desiree Cormier Smith, mengatakan, AS harus menghadapi "ketidakadilan rasial yang mendalam" di masa lalu.

"Meskipun negara saya tidak pernah sepenuhnya menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dan kesetaraan bagi semua orang, kami juga tidak pernah meninggalkannya, dan hal ini sebagian besar disebabkan oleh masyarakat sipil," ujarnya.

Baca Juga: