» Keseimbangan primer sejak 2012 tidak pernah positif, artinya gali lubang tutup lubang, membayar utang dengan utang baru.

» RI bisa mereduksi beban bunga utang atau melakukan renegosiasi kepada kreditor untuk mengurangi beban utang.

JAKARTA - Pemerintah selaku otoritas fiskal diminta membenahi komposisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke depan agar memiliki ruang yang fleksibel, sehingga belanja negara betul-betul mampu menjalankan fungsinya sebagai salah satu katalisator perekonomian.

Ekonom dari Indef, Riza Annisa Pujarama, di Jakarta, Kamis (12/8), mengatakan komposisi APBN saat ini sangat terbebani oleh belanja yang tidak produktif serta pembayaran bunga utang setiap tahun termasuk bunga obligasi rekapitalisasi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Kondisi tersebut kalau terus dipertahankan, kata Riza, akan menyebabkan kemampuan fiskal negara semakin tidak fleksibel ke depan. Sebab, komponen belanja operasional seperti belanja pegawai dan barang sangat besar porsinya dalam APBN.

Pada APBN 2020, komposisi belanja pegawai mencapai 20,8 persen dan belanja barang 23 persen. Sementara persentase pos belanja lainnya, seperti belanja modal, bantuan sosial, subsidi, dan hibah di bawah persentase tersebut. Di sisi lain, persentase belanja untuk pembayaran bunga utang juga bertambah.

"Jadi, hampir 40 persen lebih habis untuk belanja operasional. Sementara itu, kita lihat belanja bunga utang komposisinya meningkat di 2021 angkanya mencapai 19,1 persen. Ini artinya bahwa kemampuan fiskal kita untuk fleksibilitas fiskal semakin melemah," kata Riza.

Oleh karena itu, dia meminta pemerintah mengevaluasi penggunaan utang terhadap hasil (return) yang didapat dari penarikan pinjaman tersebut. Apalagi, selama ini masyarakat tidak mengetahui alokasi penggunaan pinjaman tersebut serta dampaknya bagi perekonomian dan pembangunan. Pemerintah harus transparan dan memastikan kalau dana yang bersumber dari utang digunakan secara efektif.

"Selama ini, utang full dari Surat Berharga Negara (SBN), tapi kita tidak tahu utang SBN yang mana digunakan untuk infrastruktur, pendidikan, atau belanja sosial lainnya. Itu perlu assessment apakah penggunaan utang itu efektif dan seusai dengan output sehingga utang pada gilirannya menjadi produktif dan bisa dikembalikan kepada pemerintah dalam bentuk pajak," katanya.

Riza mengingatkan utang pemerintah pusat terus meningkat setiap tahun yang diperburuk dengan pandemi Covid-19, sehingga membutuhkan lebih banyak belanja untuk menangani dampak pandemi. Sementara pendapatan negara berkurang, sehingga defisit APBN melebar.

Kenaikan utang, tambahnya, sejalan dengan peningkatan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Per Juni 2021 lalu, utang pemerintah pusat mencapai 6.554,56 triliun rupiah dengan rasio 41,35 persen terhadap PDB.

"Dengan meningkatnya defisit fiskal, maka otomatis penarikan utang meningkat, terutama pada pandemi Covid-19. Hampir semua negara melakukan itu untuk stimulus perekonomian dan bantuan sosial kepada masyarakat," katanya.

Namun, dia menyoroti utang yang diambil pemerintah pusat tidak semuanya untuk stimulus ekonomi dan bantuan sosial, tetapi sebagian digunakan untuk membayar beban bunga utang sendiri. Kondisi ini tecermin dari keseimbangan primer yang terus mengalami defisit sejak 2012 lalu. Sepanjang 2021 ini, keseimbangan primer diprediksi defisit 633,11 triliun rupiah.

"Keseimbangan primer sejak 2012 tidak pernah positif, artinya kita gali lubang tutup lubang, membayar utang dengan utang baru," pungkasnya.

Renegosiasi Utang

Direktur Celios, Bhima Yudisthira, yang dihubungi terpisah, mengatakan beban bunga utang naik terlalu tinggi bahkan sebelum pandemi. Hal itu membuat ruang fiskal makin sempit, padahal pemerintah membutuhkan dana besar untuk stimulus ekonomi dan penanganan pandemi.

Untuk mengurangi beban tersebut, dia mengatakan pemerintah bisa mereduksi beban bunga utang dengan memilih instrumen pinjaman yang bunganya lebih rendah dibanding surat utang.

"Beberapa negara melakukan renegosiasi utang kepada kreditor untuk mendapat keringanan bunga maupun penundaan pembayaran pokok utang. Indonesia bisa lakukan hal yang sama, apalagi statusnya sebagai negara berpendapatan menengah bawah," tutup Bhima.

Baca Juga: