YOGYAKARTA - Tersebutlah seorang atlit lari penyandang disabilitas yang hanya memiliki satu kaki normal dan satu kaki palsu bernama Nyala berusia 17-18 tahun dan tinggal di Yogya. Pribadi cerita sejak kecil, di tengah karirnya sebagai pelari penyandang disabilitas yang sedang moncer malah mendapat perlakuan pelecehan seksual, digoda, dilecehkan secara verbal, dan digerayangi tubuhnya.

Di tengah segala keterbatasan yang dimilikinya, Nyala hanya bisa diam. Seketika karirnya hancur dan ia lebih banyak mengurung dirinya di kamar dan mengutuk nasib buruknya, segala kekurangannya yang menempatkannya sebagai semata pihak yang kalah, objek seksual dari lelaki yang kuat secara fisik maupun sosial.

Tapi semuanya berubah saat telfon datang dari sahabatnya, seorang perempuan normal yang sedang menghadapi ancaman pelecehan dari lelaki yang sama yang dulu melecehkannya.

Ketika sahabat baiknya berada di bawah ancaman pelaku yang sama, Nyala sadar bahwa ia harus kembali "berlari" untuk menyelamatkan sahabatnya, sekaligus dirinya. Ia bangkit melawan.

Demikian synopsis dari film pendek bertajuk Nyala yang dibuat oleh Yayasan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA) dan diluncurkan di Kulon Progo, DIY, pada pada 28-29 Oktober 2021 lalu.

Direktur SAPDA Nurul Saadah Andriani menyampaikan perempuan penyandang disabilitas memiliki risiko lebih tinggi menghadapi pelanggaran hak atas otoritas tubuh dan seksualitas.

"Mereka rentan menjadi penyintas kekerasan seksual; kehamilan yang tidak direncanakan; pemaksaan perkawinan dan pemakaian kontrasepsi; hingga menghadapi resiko kesehatan serius seperti penyakit menular seksual," katanya.

Selain itu, Nurul juga menegaskan kerentanan tersebut juga tak hanya berasal dari keluarga terdekat, tetapi juga dari lingkungan luar.

"Misalnya adanya stigma yang memandang mereka sebagai individu yang aseksual, atau bahkan hiperseksual; sebagai calon pasangan atau orang tua yang tidak layak karena tidak mampu bereproduksi. Perempuan penyandang disabilitas juga menjadi kelompok yang relatif banyak tak tersentuh oleh kebijakan, layanan, media informasi seputar kesehatan seksual dan reproduksi," tambahnya.

"Mereka seringkali mengalami persoalan traumatis dan mendapatkan dampak yang sangat berarti terhadap kehidupan, penghidupan serta masa depannya. Terutama apabila kekerasan /pelecehan tersebut dilakukan oleh orang terdekat atau mempunyai relasi kuasa atas ekonomi atau sumberdaya yang lain," lanjut Nurul.

Peluncuran film Nyala diterangkan Nurul, adalah tindak lanjut atas riset wawancara yang dilakukan SAPDA bersama 10 perempuan penyandang disabilitas di Yogyakarta dan Kupang untuk memetakan situasi kerentanan perempuan penyandang disabilitas terkait otoritas tubuh dan seksualitas.

Melalui riset itu, SAPDA mendapati sebagian besar responden perempuan penyandang disabilitas relatif belum memiliki otonomi dalam memaknai tubuh dan seksualitas. Mereka juga menghadapi hambatan dalam memenuhi kebutuhan seksualitas. Hambatan di antaranya datang dari diri sendiri berupa kondisi disabilitasnya; maupun dari faktor eksternal seperti kebijakan, layanan dan lingkungan sosial budaya yang belum sepenuhnya inklusif.

Di samping film Nyala, riset tersebut ditindaklanjuti pula dalam bentuk buku kumpulan esai dan ringkasan kebijakan (policy brief) yang dapat diakses melalui media terpisah. Program ini diharapkan dapat mendorong lahirnya lebih banyak kebijakan perlindungan hak otoritas tubuh dan seksualitas perempuan penyandang disabilitas.

Peluncuran film berbalut diskusi ini, berlangsung di lima daerah, yakni Jember, Jawa Timur dan Aceh pada 28 Oktober 2021; Kulonprogo, Yogyakarta pada 29 Oktober 2021; serta Yogyakarta dan Palu pada 30 Oktober 2021 dengan melibatkan tim produksi dan pemerintah daerah.

Peluncuran diselenggarakan di bawah dukungan pendanaan oleh Women Fund sebagai langkah advokasi SAPDA dalam memperjuangkan hak atas otoritas tubuh dan seksualitas bagi perempuan penyandang disabilitas.

Baca Juga: