Para filsuf dan psikolog mengamati bahwa kebosanan dapat berdampak positif dan negatif, memainkan peran sangat penting dalam perkembangan masa kanak-kanak dan remaja.
Tina Kendall, Anglia Ruskin University
Film animasi anak-anak telah lama berupaya mengajari pemirsa muda cara mengelola emosi. Inside Out (2015) karya Disney Pixar, salah satunya, mengartikan tugas pengaturan emosi ini secara literal.
Kegembiraan, kesedihan, kemarahan, ketakutan, dan rasa jijik-lima emosi dasar protagonis Riley-menjadi karakter di "ruang kendali" interiornya. Bersama-sama, mereka memandu tindakan Riley saat ia berkembang dari balita hingga praremaja. Kini, di sekuel berikutnya, Inside Out 2, Riley akan berusia 13 tahun. Artinya, emosi yang lebih "canggih"-termasuk cemas, malu, iri, dan kebosanan akan datang.
Saya seorang peneliti yang telah mempelajari bagaimana kebosanan membentuk konten dan penggunaan media. Jadi, saya sangat tertarik dengan karakter Ennui, yang mewujudkan sikap apatis yang tidak terikat, yang biasanya disebut sebagai kebosanan.
Di awal film, Kecemasan menjelaskan kepada emosi yang lebih tua bahwa "kita semua mempunyai tugas yang harus dilakukan". Ia menambahkan bahwa tugasnya adalah "merencanakan masa depan". Lalu, pekerjaan apa yang dimiliki Ennui dalam film tersebut, dan bagaimana hal ini memetakan peran kebosanan dalam kehidupan kita sehari-hari?
Sejak diperkenalkan pada awal abad ke-19, konsep "kebosanan" telah menjadi topik perdebatan dan perselisihan. Para filsuf dan psikolog mengamati bahwa kebosanan dapat berdampak positif dan negatif, sehingga memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan masa kanak-kanak dan remaja.
Dalam diskusinya tentang kebosanan, psikoanalis Adam Phillips menggambarkan rasa bosan sebagai:
Keadaan mati suri ketika segala sesuatu dimulai dan tidak ada yang dimulai, suasana kegelisahan yang menyebar dan mengandung keinginan paling tidak masuk akal atau paradoks, hasrat akan suatu keinginan.
Studi terbaru psikolog James Danckert dan John Eastwood mengungkap, kebosanan pada dasarnya adalah "ajakan untuk bertindak, sinyal untuk menjadi lebih terlibat"-atau mencoba sesuatu yang berbeda.
Meskipun hal ini dikaitkan dengan pelepasan diri dan sikap apatis serta dapat menjadi tanda bahwa kita perlu mengubah haluan, penelitian saya menunjukkan betapa kebosanan semakin menjadi sasaran perusahaan media. Mereka bekerja keras untuk mengonsolidasikan hubungan antara rasa bosan dan penggunaan perangkat digital. Ponsel kita sering kali dipromosikan sebagai alat untuk melawan kebosanan, kapan pun dan di mana pun hal itu terjadi.
Kebosanan, dan ketakutan akan hal itu, memotivasi kita untuk menelusuri internet tanpa berpikir panjang. Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa semakin sering kita menggunakan ponsel untuk mengalihkan perhatian kita dari kebosanan, semakin tinggi risiko menjadi bosan, khususnya bagi remaja. Dalam beberapa dekade terakhir, penelitian telah menunjukkan adanya korelasi antara meningkatnya kebosanan dan kesulitan akibat kesehatan mental.
'Inside Out 2' tidak secara khusus membahas aspek-aspek kebosanan yang berpotensi negatif. Sebaliknya, film ini menggandakan peran positif yang dimainkan oleh kebosanan dalam membantu Riley mengelola intensitas kehidupan remaja. Sepanjang film, Ennui yang beraksen Prancis berbaring di sofa mengenakan pakaian olahraga biru tua, menatap layar ponsel pintarnya tanpa ekspresi.
Awalnya, sketsa desain konsep menggambarkan Ennui dalam warna merah muda, tapi versi finalnya diubah menjadi nuansa tinta biru dan ungu tua. Desainer produksi Ennui menjelaskan: "Kami pada akhirnya memilih warna biru keabu-abuan yang gelap ini-ika saya harus memberinya nama, itu akan menjadi 'bla'."
Penampilan, gerakan, dan refleks verbal Ennui semuanya memancarkan kelelahan mental, kelambanan fisik, dan kurangnya minat karena merasa bosan.
Di sebagian besar film, dia menempati posisi kedua setelah Kecemasan, tokoh antagonis utama film tersebut. Saat Kecemasan membakar layar dengan energi gugupnya yang hingar bingar, Ennui adalah pengintai yang memancarkan apa yang orang Prancis sebut je m'en foutisme-seni remaja yang cuek atau tidak peduli. Menariknya, ponsel pintar Ennui juga berfungsi sebagai remote control konsol, sehingga dia dapat mengontrol emosi Riley tanpa harus bangun dari sofa.
Ini adalah aspek inti dari peran Ennui dalam film tersebut. Dia tidak terlalu peduli dengan emosi-emosi lainnya-hanya menanggapi sedikit dengan desahan dramatis, menguap, memutar mata, atau melontarkan kalimat-kalimat sarkastik dan cacian. Rasa ketidaktertarikan inilah yang membuat film ini memahami peran kebosanan dalam kehidupan emosional Riley, saat ia bertransisi dari anak-anak ke remaja.
Namun, pada momen-momen penting dalam film, Ennui mengambil alih kendali konsol, memengaruhi pengalaman emosional Riley dengan mengurangi intensitasnya-misalnya saat Riley mencoba membuat teman-teman lamanya di perkemahan musim panas terkesan. Ketika mereka menyebutkan nama boy band norak yang dia temui musim panas lalu, ini menyebabkan Kecemasan dan Rasa Malu muncul. Ennui bangkit dari sofanya dan mengumumkan: "Aku sudah menunggu momen ini."
Ennui mengimbangi ketakutan Riley terhadap pandangan orang lain atas dirinya dengan sarkasme dalam dosis besar, yang bertindak sebagai perisai pelindung. Pada saat-saat penting lainnya, fungsi Ennui adalah untuk mengendalikan emosi yang lain-membantu memuluskan intensitas emosional kehidupan remaja.
Cara Ennui membantu meredam pengalaman emosional Riley sejalan dengan gagasan sosiolog Georg Simmel tentang "sikap blasé". Dalam esainya The Metropolis and Mental Life (1903), Simmel menggambarkan sikap blasé sebagai konsekuensi dari "stimulasi saraf yang berubah cepat yang disatukan dalam segala kontrasnya" di kota metropolitan modern.
Simmel berpendapat bahwa sikap bosan memberikan suatu bentuk perlindungan dari intensitas sensorik dan rangsangan berlebihan yang muncul dari kehidupan kota.
Bisa dibilang, versi kebosanan inilah yang mendominasi karakter Ennui. Dengan meredakan naik turunnya emosi Riley, Ennui menawarkan bentuk perlindungan dari rangsangan berlebihan yang muncul saat masa remaja.
Tina Kendall, Associate Professor Film, media and communication studies, Anglia Ruskin University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.