Oleh Heri Priyatmoko

Sejuta mata tertuju ke kampung halaman Presiden Jokowi. Tepuk tangan membahana di Benteng Vastenburg. Malam (9/8) itu, di benteng warisan kolonial tersebut, "International Gamelan Festival" dibuka dihadiri Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Kebudayaan, serta Wali Kota Solo. Meski diterpa dinginnya malam, kursi penonton penuh. Mereka menikmati sajian permainan gamelan atau karawitan bersama liukan penari di panggung. Tanpa kecuali, puluhan "bule" turut dimanjakan hiburan itu.

Kegiatan berskala internasional yang berlangsung selama sepekan (9-16/8) tersebut menegaskan, gamelan di Nusantara merupakan warisan leluhur yang sudah mendunia. Memang, sejak puluhan tahun tak sedikit orang asing merelakan ke Indonesia untuk mempelajari artefak budaya ini. Begitu pula dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, gamelan telah menulang sumsum. Tak ayal, berserakan aneka istilah yang bertemali dengan alat musik ini.

Misalnya, istilah lawas "gantung gong" yang lumayan akrab di kuping para orang tua. Di mulut gang Kemlayan, kampung yang dulunya ditinggali komunitas abdi dalem karawitan Kasunanan Surakarta, masih dapat dijumpai sebuah gong kecil digantung. Dalam pemahaman wong Solo cekek (tulen), gong berumur setengah abad lebih ini bukan benda pajangan belaka.

Dulu, bila orang menggelar hajat tidak nanggap karawitan seolah ada yang kurang. Nah, "gantung gong" menandakan perangkat gamelan beserta pangrawit-nya hadir di rumah seseorang yang tengah memiliki hajat. Pendeknya, "gantung gong" merupakan simbol status sosial yang sangat dibanggakan detik itu.

Usai kekuasaan keraton gulung tikar akibat disapu gelombang revolusi sosial tahun 1946, aktivitas karawitan dan "gantung gong" di kampung maupun ruang publik tak menyusut, tapi justru semarak. Sebab salah satunya muncul lembaga kesenian Konservatori Karawitan Indonesia (Kokar) dan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) atas izin Presiden Sukarno. Institusi tersebut diminta menelurkan seniman ulung dan cerdas secara intelektual. Selain itu, disampiri tugas menggali, memelihara, serta mengembangkan kesenian di tlatah Jawa.

Tak sedikit pangrawit istana yang bebas dari kekangan penguasa keraton memilih "lari" ke institusi formal ini. Di samping hendak mencari penghidupan yang layak di luar tembok kerajaan, para pemusik istana berupaya keras mengembangkan dan menyebarkan kemampuan kepada masyarakat luas. Mereka berkemauan mengajarkan kesenian karawitan yang cukup lama digelutinya.

Gema serta pengetahuan gamelan didengungkan lembaga kesenian bersama para maestro ternyata meluas melewati batas geografis dan sekat sosial. Pengetahuan gamelan sampai jua merembes ke masyarakat luar Surakarta hingga luar negeri. Masuk akal bila dalang, pangrawit, vokalis, pesindhen, serta seniman lain di daerah luar banyak yang berbondongbondong ke kampung halaman Presiden Jokowi demi sinau gamelan.

Martabat

Misi meningkatkan status kesenian agar lebih bermartabat. Mau tak mau, kondisi tersebut menyebabkan kegiatan seni bertambah regeng (riuh). Buahnya, citra Surakarta kembali menebal selepas hegemoni keraton jatuh. Bukti riuhnya suasana berkesenian tradisional Solo diperoleh dari pengakuan Dr Ernst Heins. Ahli gamelan dari Belanda ini sengaja menginjakkan kaki ke Kota Bengawan tahun 1966 demi memperdalam pengetahuan gamelan. Dia blusukan ke RRI, pabrik piringan hitam Lokananta, pabrik gamelan Leppon Karyasasa, serta Kampung Kemlayan yang ditinggali empu karawitan.

Dalam kunjungannya di kota mungil itu, lelaki tersebut menyatakan gandrung kapilangu dan kagum karena di mana-mana orang memukul gamelan. Realitas yang dijumpainya itu sama sekali tidak pernah dibayangkan sebelum mendarat di Indonesia (Koran Angkatan Bersenjata, 17 April 1966).

Periset asing ini mulai menyadari, kawruh (pengetahuan) gamelan bisa ditimba pula pada kelompok karawitan, bukan berhenti pada bengkel gamelan Wirun, Kokar, dan ASKI. Contoh, di Studio RRI Surakarta bercokol tim karawitan bernama Riris Raras Irama (kepanjangan RRI). Kelompok klenengan tersebut digawangi seniman karawitan ulung seperti Goenopangrawit yang jago rebab dan Turahyo Harjomartono lihai menabuh kendang.

Tahun 1970-1978, penggila karawitan ini merekam gending- gending Jawa di Kusuma Record Klaten, dan membuahkan 70 buah kaset serta lebih dari 100 gending yang direkam. Lewat mata acara rutin khususnya siaran gending Jawa gagrak Sala atau dikenal dengan uyonuyon mat-matan, RRI kurun itu sanggup membangun identitas sendiri dan menjadi kiblat karawitan Jawa gaya Surakarta.

Tidak berhenti di sini, karawitan membersamai pula gelaran wayang kulit yang disiarkan RRI sebulan sekali, tiap malam Minggu. Warga di pelosok, cukup mendengarkan radio jinjing. Tidak sedikit dalang berkeinginan siaran di sini. Kecilnya bayaran tidak menyusutkan semangat untuk tampil.

Misinya terselip, yakni golek jeneng atau mengerek namanya supaya menjadi dalang top. Bagi barisan dalang muda, mbarang di RRI bobotnya sebanding dengan unjuk kepandaian para dalang sepuh di keraton. Maklum, banyak dalang mendaftar ingin tampil di RRI guna merebut penggemar (Victoria M Clara, 1987). Kenyataan ini meluaskan pemahaman, permainan gamelan secara tradisional tidak hanya berfungsi sebagai sarana ritual, namun juga hiburan, hayatan, dan komunikasi (promosi).

Roncean fakta tadi menegaskan, Solo salah satu daerah gamelan. Spirit IGF yang menjulangkan harkat gamelan dan menyediakan wadah reuni bagi para niyaga dunia tidaklah keliru. Kendati demikian, IGF jangan melupakan kiprah pangrawit istana yang mengajarkan gending kepada khalayak.

Untung dulu barisan empu tetap mengumpul di dalam keraton, tiada penyebar-luasan pengetahuan dan keterampilan gending. Di titik ini, kita tahu bahwa seniman tidak hanya memaknai kesenian tradisional sebagai kebutuhan, namun juga pengajaran urgen bagi kelestarian gending Jawa.

Ringkasnya, perbincangan tentang gamelan bukan hanya dari segi musikal, pendidikan, dan kebudayaan. Pemain gamelan penting sebagai pilar, pelestari, dan peletak dasar pengetahuan gamelan.

Penulis Dosen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma

Baca Juga: