BPJS Kesehatan bekerja sama dengan KPK dan Kejaksaan Agung untuk penanganan dan pencegahan dugaan praktik kecurangan pada program JKN.

JAKARTA - Indikasi praktik kecurangan atau fraud pada program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan (Faskes), seperti dokter, rumah sakit, asuransi, puskesmas, dan lainnya, pada 2018 akan ditindak tegas oleh petugas hukum. Terjadinya fraud dalam program JKN bukan hanya sengaja dilakukan oleh fasilitas kesehatan, tetapi juga bisa terjadi karena kesalahan dalam sistem administrasi yang dilaporkan.

"Tahun 2017 itu tahun untuk sosialisasi, diseminasi, dan pencegahan. Tahun 2018 tahun penindakan kalau ada kecenderungan korupsi," kata Direktur Kepatuhan Hukum dan Hubungan Antarlembaga BPJS Kesehatan, Bayu Wahyudi, di Jakarta, Kamis (18/1).

Dia menekankan bahwa BPJS Kesehatan tidak memiliki kewenangan terkait penindakan. Namun, pada 2017, BPJS Kesehatan telah menjalin kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung untuk penanganan dan pencegahan dugaan praktik kecurangan.

Penegakan hukum tidak hanya dilakukan untuk dugaan praktik kecurangan, tetapi juga pada badan usaha yang belum menjalankan program JKN-KIS dengan benar.

BPJS Kesehatan sudah bekerja sama dengan Kejaksaan Agung yang ditindaklanjuti dengan mengeluarkan surat kuasa khusus kepada Kejaksaan Tinggi untuk melakukan tindakan.

Bayu menyebutkan, saat ini masih ada badan usaha yang tidak mendaftarkan pegawainya, tidak membayarkan, dan mendaftarkan hanya sebagian. "Memang tidak banyak, tapi ini akan membahayakan," kata Bayu.

Direktur Perluasan dan Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan, Andayani Budi Lestari, menambahkan, saat ini memang masih ada badan usaha yang belum mendaftarkan pegawainya dalam program JKN. Namun, kasus tersebut terjadi pada perusahaan kecil yang hanya memiliki sedikit karyawan. "Perusahaan yang kecil-kecil pegawainya cuma 15, 10, lima. Namun, justru ini yang banyak," katanya.

Pemahaman Rendah

Dalam kesempatan tersebut, Andayani juga mengatakan bahwa pemahaman masyarakat terkait pelayanan program JKN masih rendah sehingga menimbulkan mispersepsi yang terjadi di publik termasuk penuhnya Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL).

"Pemahaman masyarakat terkait kepesertaan JKN belum optimal, sehingga sering ada anggapan kalau nggak sakit, ngapain daftar," sebutnya.

Menurut Andayani, masyarakat masih menganggap kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) berprinsip transaksional yang digunakan dan dibayarkan apabila dibutuhkan untuk berobat.

Selain itu, kata Andayani, masyarakat juga belum teredukasi dengan baik tentang alur pelayanan kesehatan yang dimulai dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) seperti puskesmas dan klinik pratama lalu selanjutnya ke rujukan tingkat lanjut seperti rumah sakit.

"Kalau sakitnya biasa, tidak perlulah ke rumah sakit. Mindset masyarakat datang ke rumah sakit langsung ke dokter spesialis itu belum hilang," kata Andayani.

Pemahaman masyarakat tersebut mengakibatkan membeludaknya kunjungan pasien peserta JKN ke rumah sakit yang menyebabkan terjadinya antrean panjang.

Terlebih lagi jumlah fasilitas kesehatan tingkat lanjut yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan belum begitu banyak. Andayani menambahkan antrean panjang lebih banyak terjadi di rumah sakit daerah. "Ini jadi PR (pekerjaan rumah) besar. Kalau terus-menerus seperti ini antrean tidak bisa terurai, biaya akan jadi sangat mahal," tandasnya. cit/E-3

Baca Juga: